Kontroversi Abolisi Tom Lembong- Hukum atau Kepentingan?

Abolisi yang diberikan Presiden Prabowo Subianto kepada Thomas Trikasih Lembong, terdakwa kasus impor gula, menuai sorotan publik. Baru-baru ini Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad, mengumumkan pemberian abolisi bagi terdakwa kasus dugaan korupsi impor gula, Thomas Trikasih Lembong atau Tom lembong.
Hal itu tertuang dalam surat permohonan konsultasi nomor Pres/R43/Pres-07/2025 yang dilayangkan oleh Presiden Prabowo Subianto kepada DPR RI.
“Tentang pemberian abolisi terhadap Saudara Tom Lembong,” kata Sufmi Dasco Ahmad dalam konferensi di DPR RI, Kamis (31/7/2025).
Kebijakan tersebut dikeluarkan kurang dari sebulan setelah Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat menjatuhkan vonis hukuman selama 4 tahun 6 bulan penjara terhadap mantan Menteri Perdagangan RI itu.
Majelis hakim menyatakan Tom terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama. Dia dinyatakan melanggar Pasal 2 Ayat (1) juncto Pasal 18 UU Tipikor serta Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP sesuai dakwaan primer.
“Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa Thomas Trikasih Lembong oleh karena itu dengan pidana penjara selama 4 tahun dan 6 bulan,” kata Ketua Majelis Hakim, Dannie Arsan, dalam ruang sidang Pengadilan Tipikor Jakarta, Jakarta Pusat, Jumat (18/7/2025).
Putusan ini menuai perdebatan, mengingat Tom dinyatakan tidak menerima, apalagi menikmati hasil dari tindak pidana korupsi yang didakwakan kepadanya. Dalam pertimbangan yang memberatkan, hakim menilai bahwa Tom lebih mengedepankan pendekatan ekonomi kapitalis dibandingkan prinsip demokrasi ekonomi dan sistem ekonomi Pancasila, sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945.
Menanggapi putusan itu, Tim Kuasa Hukum Tom Lembong, telah resmi mengajukan memori banding ke Pengadilan Tinggi DKI Jakarta sejak Selasa (29/7/2025).
“Semua dokumen-dokumen yang dibutuhkan telah disampaikan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk dilanjutkan ke Pengadilan Tinggi DKI,” ujar Kuasa Hukum Tom Lembong, Ari Yusuf Amir, dalam konferensi pers di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Rabu (30/7/2025).
Apa itu Abolisi?
Mengutip Marwan dan Jimmy dalam buku “Kamus Hukum”, abolisi adalah suatu hak untuk menghapuskan seluruh akibat dari penjatuhan putusan pengadilan atau menghapuskan tuntutan pidana kepada seorang terpidana, serta melakukan penghentian apabila putusan tersebut telah dijalankan
Peneliti bidang hukum dan regulasi dari Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Muhamad Saleh, menjelaskan bahwa hingga kini pemberian amnesti dan abolisi di Indonesia masih mengacu pada Undang-Undang Darurat Nomor 11 Tahun 1954 tentang Amnesti dan Abolisi.
“Secara konstitusional memang presiden itu punya kewenangan yang diatur dalam Pasal 14 ayat (2) [UUD 1945], yang kurang lebih menyatakan bahwa presiden itu dapat memberikan amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat,” ujarnya saat dihubungi Tirto, Jumat (1/8/2025).
Menteri Koordinator bidang Hukum, HAM, Imigrasi dan Pemasyarakatan (Menko Kumham Imipas), Yusril Ihza Mahendra, mengungkapkan bahwa pemberian abolisi untuk Tom membuat dia bebas dari segala akibat hukum dan tuntutan tindak pidana.
“Jika seseorang atau sekelompok orang diberikan amnesti, maka segala akibat hukum dari tindak pidana yang dilakukan dihapuskan. Kemudian dengan abolisi, maka segala penuntutan terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang dihapuskan,” kata Yusril dalam keterangan pers, Jumat (1/8/2025).

Abolisi Dianggap Bukan Langkah Tepat
Pengajar Hukum Tata Negara dari Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, Bivitri Susanti, menilai keputusan Presiden Prabowo memberikan abolisi kepada Tom Lembong bukanlah langkah yang baik dari sisi penegakan hukum.
Ia mengingatkan bahwa perkara yang menjerat Tom merupakan tindak pidana korupsi. Itu bukan perkara ringan.
“Kalau diselesaikannya dengan cara seperti ini (abolisi), berarti akan semakin kelihatan bahwa dari awal memang kasus Tom Lembong ini sangat politis. Dan yang kedua konsisten banget tuh, berarti politisasi lawan politisasi,” ujarnya saat dihubungi Tirto, Jumat (1/8/2025).
Bivitri sendiri menyatakan pada dasarnya ia sepakat, bahwa Tom sebenarnya tidak bersalah. Namun dalam negara hukum, proses untuk menyatakan seseorang tidak bersalah seharusnya dilakukan melalui mekanisme hukum yang adil dan transparan. Apalagi, Tom sudah mengajukan banding terhadap putusan pengadilan.
“Saya yakin hakim di pengadilan tinggi itu akan bisa melihat kok, memang gak ada kesalahan, tidak terbukti. Dan kalaupun tidak bisa bergantung pada hakim –karena Pak Prabowo gak boleh ya mengintervensi Mahkamah Agung, tapi kan dia bisa memberikan arahan-arahan kepada jaksa agung sebagai bawahannya. Ya sudah, pakai cara itu yang normal menurut saya seperti itu, banding,” ujarnya.
Ia menambahkan, langkah pemberian abolisi ini semakin menunjukkan bahwa sejak awal, kasus Tom Lembong sarat muatan politis. Hal ini dianggap berbahaya bagi masa depan penegakan hukum di Indonesia, karena dapat menjadi preseden buruk di kemudian hari.
“Sekarang Tom Lembong, tapi nanti ke depannya siapa lagi tuh pelaku-pelaku tindakan korupsi yang akan diperlakukan seperti ini. Seharusnya kalau memang seseorang tidak bersalah dari awal, ya ditentukan dong penuntutannya. Kan ini enggak. Dibiarkan dulu sampai bahkan orangnya udah banding baru diberikan abolisi seperti ini,” ujarnya.

Preseden Buruk Terhadap Pemberantasan Korupsi
Senada, Pengajar hukum tata negara dari Universitas Mulawarman (Unmul) Samarinda, Herdiansyah Hamzah, menilai pemberian amnesti dan abolisi terhadap individu yang terlibat dalam perkara korupsi merupakan keputusan yang keliru. Ia menegaskan, langkah tersebut bisa berdampak buruk terhadap upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.
“Bisa jadi ke depan presiden akan dengan mudah memberikan amnesti dan abolisi kepada mereka yang terlibat perkara korupsi, terutama yang berada pada circle presiden. Kedua, itu jelas akan melemahkan upaya kita melawan korupsi. Bagaimana mungkin kejahatan luar biasa semacam korupsi kemudian diberikan amnesti oleh presiden?” ujarnya saat dihubungi Tirto, Jumat (1/8/2025).
Pria yang akrab disapa Castro itu mencontohkan, sepanjang sejarah nyaris tidak ada presiden yang memberikan amnesti atau abolisi kepada pelaku korupsi. Pemberian pengampunan hukum semacam ini, ujarnya, umumnya diberikan kepada tahanan politik, seperti dalam kasus Sri Bintang Pamungkas atau Mochtar Pakpahan.
Ia menilai, narasi persatuan nasional yang digunakan sebagai alasan pemberian amnesti dan abolisi, sebagaimana disampaikan Menteri Hukum, Supratman Andi Agtas, tidak cukup kuat secara hukum. Justru, lanjutnya, alasan itu semakin memperkuat kesan bahwa kebijakan tersebut lebih didorong oleh pertimbangan politik ketimbang prinsip-prinsip hukum yang objektif.
“Kalau kita pakai cara pandangnya Hasto dan Tom Lembong misalnya, kalau kedua orang ini merasa yang mereka perjuangkan benar, mereka dipersekusi, mereka di-bully, mereka dikriminalisasi, dan sebagainya, mestinya mereka menolak dong amnesti dan abolisi itu. Karena kalau kemudian amnesti dan abolisi itu diterima, artinya tidak ada ruang untuk membuktikan bahwa apa yang mereka perjuangkan selama ini benar kan,” ujarnya.
Perketat Aturan Soal Abolisi
Dalam kasus Tom Lembong, Saleh dari CELIOS menilai bahwa pemberian abolisi mencerminkan lemahnya kehati-hatian aparat penegak hukum. Ia menyayangkan proses hukum yang tidak dijalankan dengan cukup teliti oleh kejaksaan maupun pengadilan. Dampaknya sempat menimbulkan reaksi dari masyarakat sipil dan media, yang kemudian baru direspons oleh presiden lewat abolisi.
“Ini menjadi problem yang cukup serius. Ke depannya pemerintah harus berhati-hati dalam menggunakan amnesti dan abolisi ini. Kita ingin ini transparan. Dan, yang paling penting presiden tidak menggunakan populisme dalam penegakan hukum. Jangan ada populisme dalam penegakan hukum karena hukum itu harus clear. Hitam dan putih,” ujarnya.
Saleh menyoroti UU yang mengatur soal abolisi dan amnesti belum pernah diperbaharui sejak dibentuk. Sehingga, mekanisme serta batasan kewenangan presiden dalam memberikan pengampunan hukum dinilai belum memiliki kejelasan yang memadai secara hukum dan institusional.
Imbasnya, amnesti dan abolisi seringkali tak bisa dilepaskan dengan motif politik.
“Penting untuk mendorong agar kewenangan presiden tersebut tidak hanya bersifat subjektif, tetapi juga memiliki dasar hukum yang lebih objektif. Tanpa aturan yang ketat dan transparan, kewenangan ini justru akan membuka ruang bagi praktik populisme hukum, di mana hukum digunakan untuk membangun citra politik alih-alih menegakkan keadilan,” ujarnya.
Ia pun menegaskan bahwa ke depan, penggunaan instrumen-instrumen prerogatif presiden di bidang hukum harus dibatasi dengan parameter yang jelas. Tujuannya adalah agar kewenangan tersebut tidak disalahgunakan untuk kepentingan politik, apalagi dalam konteks kasus korupsi seperti yang menjerat Tom Lembong maupun Hasto Kristiyanto.
Saleh mendorong agar ada aturan yang dapat mengobjektifkan kewenangan presiden dalam memberikan pengampunan hukum. Untuk mencapai itu, perlu penetapan indikator dan mekanisme kontrol yang lebih ketat.
“Jangan sampai spirit penegakan hukum terhadap isu korupsi itu menjadi runtuh karena presiden memiliki kewenangan penegakan hukum dari sisi amnesti, abolisi, rehabilitasi, dan grasi,” ujarnya.
Aspek Politik Abolisi untuk Tom Lembong
Analis politik yang juga menjabat sebagai Direktur Eksekutif Trias Politika Strategis, Agung Baskoro, menilai pemberian abolisi dari Prabowo ke Tom Lembong secara politik menegaskan dua hal.
Pertama, Prabowo ingin menunjukan perubahan gaya kepemimpinan politik yang kontras dengan Jokowi. Kalau pendekatan Jokowi terhadap lawan politik cenderung bersifat konfrontatif, Prabowo justru lebih memilih merangkul mereka.
“Yang kedua, secara institutional, Presiden Prabowo ingin memastikan rekonsiliasi politik nasional secara optimal pasca-Pilpres 2024,” ujarnya saat dihubungi Tirto, Jumat (1/8/2025).
Sebagai konteks, Tom Lembong sendiri dikenal sebagai orang dekat dari Anies Baswedan, rival Prabowo di Pilpres 2024. Menurut Agung, pemberian abolisi terhadap Tom Lembong bisa berdampak terhadap pola penyeimbangan kekuasaan.
Meski dampaknya mungkin tak besar, langkah ini tetap membuka ruang bagi terbentuknya oposisi yang proporsional. Oposisi yang mampu bersikap kritis, memberi masukan, dan menawarkan solusi.
“Bahkan tidak menutup kemungkinan memberikan solusi-solusi konstruktif. Sehingga publik dapat menerima masukan secara objektif dari dua sisi, dari sisi pemerintah maupun dari sisi seberang kekuasaan,” ujarnya.
Terbit di Tirto