Di Balik Usul Pemakzulan Gibran, Upaya Pisahkan Keluarga Solo dengan Hambalang, Analisis Pakar

Usul pemakzulan Wakil Presiden RI Gibran Rakabuming Raka terus menggelinding.
Beberapa waktu lalu sejumlah purnawirawan TNI mengaku telah mengirim surat pemakzulan ke DPR dan MPR RI.
Surat bernomor 003/FPPTNI/V/2025 itu dikirim pada 2 Juni 2025.
Sebulan berlalu, tapi DPR dan MPR belum membahas surat itu.
Apa Sebenarnya yang Terjadi?
Direktur Eksekutif Trias Politika, Agung Baskoro, berpendapat usulan pemakzulan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka oleh Forum Purnawirawan TNI bukan merupakan tujuan akhir.
Dia menduga tujuan akhir dari usulan pemakzulan tersebut adalah memisahkan keluarga Solo dan Hambalang.
“Saya kira pemakzulan ini sebetulnya hanya tujuan antara,” kata dia dalam dialog di Kompas TV, Rabu (9/7/2025).
“Tujuan besarnya saya melihat untuk memisahkan keluarga Solo dan keluarga Hambalang. Saya melihat ke arah sana karena memang ada fakta-fakta historis di mana belum ada wapres yang terpilih untuk kedua kalinya ya.”
Keluarga Solo dimaksud adalah keluarga Jokowi.
Sementara keluarga Hambalang adalah Presiden Prabowo yang saat ini tinggal di Hambalang.
Agung Baskoro mengatakan pola-pola seperti yang dilakukan oleh Forum Purnawirawan TNI tersebut merupakan cara yang paling soft dan smooth.
“Kita tahu keluarga Solo beberapa waktu terakhir mendapat serangan bertubi-tubi dari segala lini. Pak Jokowinya, Mas Gibrannya, Mas Bobbynya, dan hal-hal lain semacam itu.”
Keluarga Solo dimaksud adalah keluarga Jokowi.
Sementara keluarga Hambalang adalah Presiden Prabowo yang saat ini tinggal di Hambalang.
Agung Baskoro mengatakan pola-pola seperti yang dilakukan oleh Forum Purnawirawan TNI tersebut merupakan cara yang paling soft dan smooth.
“Kita tahu keluarga Solo beberapa waktu terakhir mendapat serangan bertubi-tubi dari segala lini. Pak Jokowinya, Mas Gibrannya, Mas Bobbynya, dan hal-hal lain semacam itu.”
Kedua, kata dia, tidak bisa dipungkiri bahwa konstelasi pemakzulan untuk saat ini masih terlalu cepat atau terlalu dini.
Ia menuturkan jika melihat histori, pemakzulan biasanya berhubungan dengan fakta-fakta ekonomis dan sosiologis.
Ia menconthkan yang terjadi pada Soekarno dan Soeharto.
“Artinya apa, momen pemakzulan yang politis ini harus berkelindan dengan momen sosiologis atau ekonomis. Kalau hanya momen politis, saya kira pemakzulannya akan sangat sulit terjadi.”
DPR Diminta Respon
Pakar Hukum Tata Negara, Prof Juanda mendorong DPR merespons surat usulan Forum Purnawirawan TNI tentang pemakzulan Wakil Presiden RI, Gibran Rakabuming Raka.
Menurut Juanda, alasan DPR belum membahas atau merespons surat usulan dari Forum Purnawirawan tersebut dapat diterima, baik itu karena DPR sibuk maupun karena ada agenda atau prioritas lain.
Namun ia menilai DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat harus merespons surat tersebut untuk menyelidiki benar atau tidaknya usulan pemakzulan itu.
“Saya kira ini merupakan kewajiban dari DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat,” katanya.
“Ini yang saya selalu dorong, supaya kenapa? Kelihatan prinsip negara demokrasi, negara hukum yang konstitusional,” imbuhnya.
Hal itu, menurutnya, dapat terlihat ketika DPR merespons dengan cepat setiap gagasan atau usulan dari masyarakat, baik itu masyarakat kecil, masyarakat elit, termasuk purnawirawan TNI.
Respons dari DPR disebutnya sebagai hal penting bagi negara kita, sebab jika mereka tidak merespons, ada kekhawatiran muncul anggapan bahwa DPR tidak memperhatikan suara-suara rakyat.
Jika kemudian DPR merespons surat itu, menurut Juanda, mereka bisa menanyakan sejauh mana argumentasi hukum yang bisa dibuktikan atau disampaikan oleh para purnawirawan tersebut.
Menurutnya, ketika hal ini sudah diproses, apakah melalui fraksi, apakah melalui komisi, apakah melalui pansus, bila perlu, penting misalnya demi untuk menyelidiki kebenaran apa yang disampaikan oleh para purnawirawan ini.
Ia berpendapat, setelah pemanggilan dan diskusi akan lebih terlihat adanya pertanggungjawaban DPR secara politik maupun hukum.
Dari pemanggilan dan diskusi dengan para purnawirawan itu, juga dapat dilihat apakah usulan mereka terbukti atau tidak.
Ia menambahkan jika tidak terbukti, para pengusul akan menyadari kekurangannya atau kelemahannya.
Tapi ketika direspons ternyata ini terbukti, maka ini masih panjang proses mekanisme untuk melakukan pemakzulan itu.
Sebab, lanjut Juanda, masih harus berproses di Mahkamah Konstitusi (MK), kemudian kembali ke DPR dan MPR lagi.
Meski demikian, ia menegaskan mendorong agar DPR merespons usulan tersebut.
Terbit di Tribunnews