Pertemuan Prabowo-Megawati, Sepiring Nasi Goreng Menuju Rekonsiliasi

Di balik aroma gurih nasi goreng, tersimpan isyarat politik yang tak kalah pedas. Sinyal pertemuan antara Presiden Prabowo Subianto dan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri kini semakin menguat. Sinyal pertemuan Prabowo-Megawati bermula dari sebuah metafora kuliner yang dilontarkan Megawati.
Istilah “nasi goreng” yang diucapkan Megawati dalam pidatonya bukan sekadar selera makan malam, melainkan simbol rekonsiliasi politik. Direktur Eksekutif Trias Politika Strategis, Agung Baskoro, menyebut “politik nasi goreng” punya makna historis dan simbolis yang kuat bagi Megawati, merujuk pada pengalaman terdahulu saat hubungan dengan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) mencair lewat cara serupa.
“Kalau nasi goreng dimasak, baunya pasti ke mana-mana,” ujar Agung dalam program “Beritasatu Sore” yang dipantau dari kanal YouTube Beritasatu, Minggu (11/5/2025).
“Ini sinyal keras PDIP membuka peluang untuk menormalkan kembali relasi dengan Pak Prabowo,” tambahnya.
Agung melihat, suasana kondusif sudah mulai terbentuk sejak momen halalbihalal lalu, yang mempertemukan keduanya dalam suasana santai. Maka, bila pertemuan Prabowo-Megawati berikutnya terlaksana, tak sekadar simbol, tetapi bisa jadi titik balik penting dalam lanskap politik nasional.
Lebih dari sekadar reuni politik, Agung menilai pertemuan ini menyimpan kepentingan strategis kedua pihak. Bagi PDIP, menjelang kongres partai yang diprediksi sarat dinamika, hubungan baik dengan presiden terpilih bisa meredam potensi tekanan eksternal.
Sebaliknya, bagi Prabowo, kedekatan dengan PDIP berpeluang meredam wacana negatif soal “presiden boneka”, isu pemakzulan, hingga tudingan soal matahari kembar di lingkar kekuasaan. Agung juga menyebut pertemuan ini bisa menjadi penyeimbang kekuatan di antara para elite, seperti Jokowi dan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
“Kita butuh titik keseimbangan agar tidak terjadi distorsi kekuasaan. Prabowo perlu menjaga relasi yang proporsional dengan semua tokoh besar bangsa ini,” katanya.
Namun, di balik peluang harmoni, ada pula tantangan demokrasi. Jika semua partai akhirnya ‘merapat total’ ke pemerintah, publik harus waspada terhadap potensi melemahnya fungsi pengawasan dan kritik. Agung mengingatkan, peran masyarakat sipil sangat penting untuk menjaga agar demokrasi tetap sehat.
Harapan terbesar dari “nasi goreng politik” ini, menurut Agung, adalah terbangunnya kolaborasi substantif.
“Jadi Bukan sekadar bagi-bagi kursi, tetapi tentang bagaimana membangun bangsa dengan dialog yang setara, konstruktif, dan berpijak pada kepentingan rakyat,” ungkapnya tentang rencana pertemuan Prabowo-Megawati.
Sumber: Berita Satu