Simbol Gajah PSI & Jalan Panjangnya Menuju Relevansi Politik

Partai Solidaritas Indonesia (PSI) secara resmi meluncurkan logo barunya dalam kongres yang digelar di Surakarta pada 19–20 Juli 2025. Menggantikan ikon lama bunga mawar merah, logo baru PSI menampilkan ikon gajah dengan kepala berwarna merah dan tubuh hitam.
Mengutip keterangan situs resmi PSI, logo gajah ini terdiri dari dua elemen warna utama yaitu merah pada bagian kepala dan belalai, serta hitam pada tubuh, dengan latar putih sebagai dasar. Gajah dipilih sebagai simbol karena dianggap merepresentasikan nilai-nilai kekuatan, kesetiaan, kemakmuran, pengetahuan, dan kebijaksanaan.
PSI menyatakan bahwa perubahan identitas visual ini mencerminkan semangat baru partai untuk menjadi lebih relevan dan dekat dengan masyarakat. Lantas, seberapa penting peran logo atau identitas partai dalam mempengaruhi persepsi dan pilihan masyarakat dalam konteks politik saat ini?
Perubahan Logo Tak Signifikan Pengaruhi Pemilih?
Jika menengok sejarah panjang kepemiluan di Indonesia, penggunaan logo atau tanda gambar partai telah menjadi bagian penting sejak pemilihan umum (pemilu) pertama yang digelar pada 1955. Pada masa itu, simbol-simbol partai seperti bulan bintang milik Masyumi atau palu arit milik PKI memiliki daya identifikasi yang sangat kuat di benak masyarakat.
Dalam konteks sosial masyarakat saat itu, tingkat buta huruf masih cukup tinggi sehingga logo partai berperan sebagai alat komunikasi visual yang strategis. Ia menjadi media utama bagi partai politik untuk memperkenalkan diri dan memudahkan pemilih mengenali serta mengingat identitas partai dalam surat suara maupun kampanye.
Meski demikian, Musfi Romdoni, analis sosio-politik dari Helios Strategic Institute, menilai bahwa dalam konteks politik kontemporer logo partai tidak lagi memiliki signifikansi dalam menentukan pilihan pemilih. Menurutnya, politik Indonesia saat ini sangat dipengaruhi oleh faktor ketokohan, bukan gagasan ataupun ideologi seperti di Amerika Serikat (AS).
“Di Indonesia, logo partai hanya sebagai simbol pengenal semata. Misalnya, pada kasus Partai Persatuan Pembangunan (PPP), logonya adalah Ka’bah. Meskipun secara simbolik merujuk pada identitas Islam, suara mayoritas pemilih muslim justru tidak mengalir ke PPP,” ujarnya saat dihubungi Tirto, Senin (21/7/2025).

Dalam beberapa tahun terakhir, sejumlah partai, seperti Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Perindo, dan PPP, diketahui memang mengganti logonya masing-masing. Meski demikian, jika dilihat dari parameter perolehan suara maupun popularitas, pergantian tersebut tampaknya belum membawa perubahan signifikan.
Dalam hal perolehan suara, suara PKS memang terlihat naik dari 11,49 juta suara (8,21 persen) pada Pemilu 2019 menjadi 12,78 juta suara (8,42 persen) pada Pemilu 2024 lalu. Meski demikian, Partai Perindo dan PPP justru mengalami penurunan persentase suara yang signifikan usai mengganti logonya. Keduanya bahkan tak memenuhi ambang batas parlemen (4 persen).
“Alasannya sederhana dan fundamental, yakni pergantian logo tidak diikuti oleh pergantian strategi lapangan. Yang dipilih masyarakat itu adalah caleg atau politisinya, bukan partai, apalagi logo partainya. Jadi, sebenarnya tidak ada signifikansi pergantian logo partai terhadap perubahan jumlah suara,” ujar Musfi.
Lebih lanjut, Musfi menyebut bahwa faktor yang paling dominan dalam menentukan pilihan konstituen di pemilu Indonesia adalah figur tokoh dan kekuatan logistik. Menurutnya, saat ini hanya sekitar 30 persen pemilih yang mencoblos berdasarkan partai, sementara 70 persen sisanya memilih berdasarkan calon legislatif yang mereka kenal atau idolakan.
Hal senada juga diungkapkan oleh Direktur Eksekutif Trias Politika Strategis, Agung Baskoro. Dia menilai dalam konteks politik Indonesia saat ini, pilihan pemilih masih sangat ditentukan oleh figur dan bukan oleh partai. Hal ini berkaitan dengan rendahnya tingkat kepercayaaan masyarakat atau party ID (party identification) di Indonesia saat ini.
Istilah party ID merujuk ke konsep tentang kedekatan dan kesukaan pemilih terhadap partai politik yang dipilihnya dalam pemilu. Sebagai informasi, party ID di Indonesia memang terbilang rendah. Survei yang dilakukan oleh Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada 2023 mengungkap sebesar 85 persen pemilih Indonesia mudah pindah ke parpol lain karena party ID di Indonesia sangat kecil.
“Saya menyimpulkan bahwa logo itu termasuk bagian dari partai [party ID] itu sendiri. Walaupun tidak bisa dipungkiri, peran logo itu masih ada. Tapi, dalam konteks ini, bentuknya akan menyasar pemilih-pemilih yang memilih karena berdasarkan semacam personal emosional mereka,” ujar Agung saat dihubungi Tirto, Senin (21/7/2025).
Pendapat berbeda disampaikan Pakar Komunikasi Politik dari Universitas Padjadjaran, Kunto Adi Wibowo. Menurutnya, meskipun tingkat literasi masyarakat Indonesia saat ini jauh lebih tinggi dibandingkan masa Pemilu 1955, simbol atau logo partai politik tetap memiliki peran penting dalam komunikasi politik.
“Visual itu akan cepat membentuk asosiasi dan mencitra partai politik dan itu memudahkan partai politik untuk berkomunikasi dengan pemilihnya atau dengan publik dari sudut luas. Logo tidak semata-mata itu membantu orang mengidentifikasi partai apa yang dicoblos di bilik suara, tapi lebih lanjut simbol itu akan mengandung asosiasi-asosiasi yang bisa dibentuk,” ujarnya saat dihubungi Tirto, Senin (21/7/2025).
Lalu, apa kata pakar terkait logo PSI yang baru?
Filosofi Gajah
Kunto dari Unpad menilai simbol simbol gajah memberikan penyegaran baru terhadap identitas visual PSI. Menurutnya, penggunaan simbol gajah memungkinkan partai itu untuk lebih mudah dibandingkan dan diperbincangkan dengan partai-partai lain yang juga mengusung ikon hewan dalam logonya seperti banteng yang identik dengan PDI Perjuangan (PDIP) dan Garuda dengan Partai Gerindra.
“Gajah itu kan lambang [partai] Demokrat kalau di Amerika yang percaya pada nilai-nilai liberal dan percaya pada nilai-nilai yang lebih bebas gitu. Jadi, ini yang mungkin memudahkan nanti komunikasi antara PSI ini dengan publik,” ujarnya.
Sementara itu, Agung dari Trias Politika Strategis menilai gajah memiliki banyak asosiasi baik yang dapat dimaknai secara lebih luas oleh kader dan simpatisan PSI. Agung bahkan melihat adanya potensi kolaborasi simbolik dan praktis antara PSI dan isu-isu lingkungan, khususnya pelestarian satwa.
Dia menyinggung pernyataan Presiden Prabowo Subianto yang menyarankan agar kader PSI bisa ikut terlibat dalam aktivisme perlindungan gajah. Menurut Agung, hal ini dapat menjadi narasi strategis yang memperkuat simbol gajah sebagai sesuatu yang hidup, bukan hanya sebatas desain logo.
“PSI diharapkan bisa menjadi sosok gajah yang melindungi kawanannya, tapi juga masyarakat. Kalau diterjemahkan lebih jauh lewat kemampuan menyelesaikan, mencari solusi-solusi terhadap beragam masalah-masalah ekonomi misalkan soal ancaman PHK masal, solusi dari PSI seperti apa, soal harga sembako, soal-soal kemiskinan, itu lebih konkret,” ujar Agung.
Sementara itu, Musfi dari Helios Strategic Institue menilai gajah secara simbolik memang memiliki makna yang kaya dan historis. Dalam banyak tradisi, termasuk sejak era kerajaan, gajah kerap dianggap sebagai simbol kekuatan, kebesaran, dan status tinggi.
Dia juga mencontohkan berbagai partai politik besar di dunia juga menggunakan logo gajah, misalnya Partai Demokrat di Amerika Serikat, Bahujan Samaj Party di India, United National Party di Sri Lanka, dan New Patriotic Party di Ghana.
“Tapi, yang jadi catatan pentingnya, makna besar tidak menjamin kemenangan besar di pemilu. PSI memiliki banyak pekerjaan rumah untuk merealisasikan logo baru mereka di pertarungan pemilu mendatang,” ujar Musfi.
Lalu, bagaimana cara PSI untuk membuat perubahan logo itu relevan bagi perkembangan partai khususnya dalam perolehan suara?

Agar PSI Tetap Relevan
Musfi menambahkan bahwa PSI memiliki banyak pekerjaan rumah untuk merealisasikan logo baru mereka di pertarungan pemilu mendatang. Untuk kepentingan itu, ada dua langkah strategis yang harus dilakukan PSI.
Pertama, memilih caleg-caleg potensial untuk diusung di pemilu. PSI dapat meniru strategi Partai Nasdem yang memberikan bantuan logistik kepada caleg potensialnya.
“Tawaran logistik itu juga dapat digunakan PSI untuk menarik caleg potensial partai lain untuk maju bersama partai gajah,” ujarnya.
Langkah kedua adalah memaksimalkan kedekatan dan keterlibatan Presiden Jokowi yang notabene ayah dari Ketua Umum PSI, Kaesang Pangarep. Menurut Musfi, hingga saat ini, Jokowi masih memiliki basis pendukung yang solid dan militan, terutama dari jaringan relawan yang telah dibina selama lebih dari satu dekade.
Karisma dan daya tarik Jokowi juga dinilai dapat menjadi magnet untuk menarik berbagai politisi potensial untuk bergabung.
“Karena bagaimanapun, politik praktis di Indonesia masih kental dengan isu ketokohan. Demokrasi Indonesia belum memasuki pertarungan ideologi atau pertarungan gagasan. Kita masih berkutat pada pertarungan ketokohan dan popularitas. Di sinilah letak penting kehadiran Pak Jokowi,” pungkasnya.
Terbit di Tirto