Seberapa besar peluang Dedi Mulyadi berlaga di Pilpres 2029?

Gubernur Jawa Barat (Jabar) Dedi Mulyadi kian populer di media sosial. Aksi-aksi blusukan dan kebijakan kontroversial Dedi jadi perbincangan hangat di kalangan warganet. Ada yang gila-gilaan mengapresiasi, ada pula yang menghujat. 

Peningkatan kepopuleran Dedi setidaknya terekam dari kinerja akun @KANGDEDIMULYADICHANNEL. Channel Youtube politikus Gerindra itu kini punya sekitar 7,55 juta pelanggan. Maret lalu, subscriber akun itu baru kisaran 6,3 juta orang.

Analis politik dari Universitas Indonesia (UI) Cecep Hidayat menilai Dedi tampak sedang memperkuat modal sosial-politiknya dengan memoles citra di media sosial. Jika tren ini bertahan, bukan tidak mungkin nama Dedi muncul di jajaran kandidat Pilpres 2029.

Meski begitu, Cecep menilai Dedi masih punya banyak ganjalan. Salah satunya ialah terkait isu-isu sosial dan kebijakan publik yang selama ini ia jual di media sosial masih bersifat lokal. 

“Perlu terlebih dahulu mengubah narasi lokal menjadi isu nasional. Sejauh ini, narasi yang dia mainkan di YouTube itu isu lokal, bukan nasional,” kata Cecep kepada Alinea.id, Sabtu (26/5). 

Ganjalan lainnya, lanjut Cecep, ialah statusnya sebagai politikus Gerindra. Belum lama ini, Kongres Gerindra sudah menyepakati bakal kembali mengusung Prabowo Subianto sebagai calon presiden di Pilpres 2029.

“Sementara jika dia mengincar sebagai cawapres pendamping Prabowo, dia akan mendapat pertarungan sengit dari internal Gerindra karena tergolong baru di Gerindra,” kata Cecep. 

Dedi baru bergabung ke Gerindra jelang Pileg 2024. Sebelumnya, mantan Bupati Purwakarta itu berkarier di Golkar. Meskipun kader anyar, Dedi diberikan karpet merah untuk maju jadi calon Gubernur Jabar di Pilkada Serentak 2024.

Cecep mengatakan Dedi bisa saja digandeng Prabowo untuk jadi pendamping di Pilpres 2029. Namun, ia berpendapat akan lebih realistis jika Dedi menggunakan modal politiknya maju kembali di Pilgub Jabar atau pindah ke Pilgub DKI Jakarta. 

“Itu lebih realistis ketimbang harus berhadapan dengan Prabowo atau jadi wakil Prabowo,” kata Cecep. 

Direktur Eksekutif Trias Politika, Agung Baskoro menilai popularitas yang tinggi belum jadi jaminan bagi Dedi untuk bisa melaju ke pentas nasional. Dalam kontestasi pilpres, popularitas kerap harus diimbangi dengan tingginya tingkat elektabilitas dan aksesibilitas.   

Agung mencontohkan “kasus” Rhoma Irama. Sebagai raja dangdut, semua orang mengenal Rhoma Irama. Namun, tingkat elektabilitas dan akseptabilitasnya tergolong rendah untuk pentas pilpres. 

“Bagi orang-orang, Rhoma Irama itu diterima ketika dia jadi raja dangdut. Tetapi, ketika dia (diusulkan) menjadi (calon) presiden, aksesibilitas atau penerimaannya makin kecil,” kata Agung kepada Alinea.id, Sabtu (26/5). 

Selain elektabilitas dan akseptabilitas, Dedi juga butuh dukungan dari parpol untuk maju jadi kandidat presiden. Jika bertahan di Gerindra, peluang Dedi untuk maju terbilang kecil lantaran Dedi harus berhadapan dengan Prabowo yang masih menjabat sebagai Ketua Umum Gerindra. 

“Peluangnya susah karena ada Prabowo. Tapi, kalau memaksa maju juga tidak elok karena dia baru masuk Gerindra. Jadi, kalau mau ke pentas nasional, dia keluar partai atau dia jadi cawapres,” kata Agung. 

Meskipun punya popularitas tinggi, Agung berpendapat sebaiknya Dedi tak terburu-terburu mengincar berlaga di pentas  nasional. Dedi sebaiknya lebih dulu membuktikan diri sukses membangun Jabar. 

“Agar success story (kisah sukses) itu terbukti, teruji, dan akhirnya teraplikasi di semua daerah,” kata Agung.


Sumber: Alinea

Trias Politika Strategis adalah lembaga riset, survei, dan strategi politik. Fokus mengawal demokrasi Indonesia melalui layanan akademis berkualitas, pemenangan politik, media monitoring, serta pendampingan politik, dengan pengalaman mendukung partai, perusahaan, dan kandidat strategis.