Polemik Pemilu Terpisah: DPR Lawan MK dan Bayang-Bayang Kasus Aswanto

Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan penyelenggaraan pemilihan umum (pemilu) nasional dan daerah dipisahkan dengan jeda waktu paling singkat dua tahun atau paling lama dua tahun dan enam bulan.
Pemilu nasional antara lain pemilihan anggota DPR, DPD, serta presiden dan wakil presiden. Sementara pemilu daerah terdiri atas pemilihan anggota DPRD provinsi, DPRD kabupaten dan kota serta kepala dan wakil kepala daerah.
Dari pihak DPR selaku pembuat undang-undang yang bermitra dengan pemerintah meradang atas putusan itu.
Salah satunya Ketua DPR, Puan Maharani menilai putusan MK yang memisahkan penyelenggaraan pemilu nasional dan daerah itu telah menyalahi Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
Puan menilai semua partai telah bersepakat bahwa pemilu mestinya digelar sekali dalam lima tahun. Dia pun memastikan semua fraksi pada saatnya akan menyampaikan sikap tersebut.
“Semua partai politik mempunyai sikap yang sama, bahwa pemilu sesuai dengan undang-undangnya adalah dilakukan selama 5 tahun,” kata Puan di kompleks parlemen, Selasa (15/7).
“Jadi, apa yang sudah dilakukan oleh MK menurut undang-undang itu menyalahi undang-undang dasar,” imbuh dia yang juga Ketua DPP PDIP itu.
Merespons hal tersebut, Dosen hukum tata negara dari Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah menilai kondisi politik saat ini memang menunjukkan ada upaya perlawanan dari DPR atas putusan MK tersebut.
“Jadi ada semacam feedback, upaya untuk melakukan perlawanan yang dilakukan oleh DPR terhadap putusan MK yang memisahkan pemilu nasional dan pemilu lokal,” kata Castro saat akrabnya saat dihubungi CNNIndonesia.com, Selasa malam.
Castro menyebut dalam Pasal 22E UUD 1945 telah mengatur soal pemilu digelar setiap lima tahun sekali. Namun, hal itu tak bisa serta merta dijadikan sebagai alasan bagi DPR untuk menolak atau menganggap putusan MK inskonstitusional.
Menurutnya, putusan MK tersebut memang berdampak terjadinya perpanjangan jabatan bagi anggota DPRD. Namun, hal ini bukan sesuatu yang baru pertama kali terjadi dalam gelaran pemilu di Indonesia.
Ia mencontohkan pada pemilu tahun 1977, di mana saat itu terjadi perpanjangan masa jabatan anggota DPR dan DPRD selama satu tahun hasil pemilu tahun 1971.
Kemudian, pada pemilu tahun 1999, justru masa jabatan anggota DPR dan DPRD hanya sekitar empat tahun. Hal ini sebagai akibat dari transisi sistem demokrasi setelah terjadi reformasi.
“Jadi ada semacam perubahan yang berkaitan dengan masa jabatan yang disebut sebagai masa jabatan fixed term yang harusnya lima tahun,” ucap Castro.
“Jadi sebenarnya kita punya preseden, artinya kalau kemudian alasannya inkonstitutional itu saya kira keliru, karena kita punya preseden yang berarti secara hukum konsekuensi yuridisnya kita bisa melakukan rekayasa konstitusional untuk memperpanjang masa jabatan anggota DPRD,” lanjutnya.
Castro juga meyakini MK mempunyai landasan yang kuat di balik putusan memisahkan penyelenggaraan pemilu nasional dan daerah.
Selain itu, Castro juga berpendapat putusan MK tersebut berdampak positif bagi partai untuk bisa meningkatkan kualitas kadernya yang bertarung dalam kontestasi pemilu dari pilkada, pileg, maupun pilpres.
“Jadi Kalau kemudian justru DPR yang menolak keputusan MK ini kan keliru. Artinya DPR sendiri yang nota bene-nya adalah anggota-anggota partai politik atau yang berasal dari partai politik ya tidak punya keinginan untuk berbenah, tidak punya keinginan untuk memperbaiki atau mereformasi dirinya sendiri sebagai partai politik Jadi aneh menurut saya,” tutur dia.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Arus Survei Indonesia (ASI), Ali Rif’an menilai tak ada upaya pembangkangan dari DPR atas putusan MK tersebut.
“Ini bukan pembangkangan, tetapi keputusan MK terkait dengan pemilu nasional dan pemilu lokal itu paradoks menurut saya, kenapa paradoks, karena putusan itu dianggap bertentangan dengan UUD 1945,” kata dia.
Menurut Ali, putusan MK itu juga tak menyentuh masalah utama dari penyelenggaraan pesta demokrasi di Indonesia. Diketahui, salah satu yang disorot MK dalam putusan itu adalah soal beban kerja penyelenggara pemilu.
“Karena kalau kita bicara substansi perbaikan pemilu itu justru aspek money politic, aspek kecurangan dan lain-lain, tapi ini aspek-aspek teknis yang sebenarnya lebih banyak dijadikan alasan atau landasan dari putusan MK itu,” ujarnya.
Ali menyebut yang dilakukan DPR adalah sebagai bentuk pelaksanaan mekanisme pengimbangan dari lembaga legislatif atau check and balances. Sebab, DPR memang memiliki kewenangan untuk melakukan pengawasan.
“Jadi ketika kemudian DPR itu mengevaluasi atas putusan MK itu tidak ada masalah, menurut saya itu check and balances, tetapi memang secara aturan putusan ini mengikat sehingga harus dilaksanakan,” ucap Ali.
Di sisi lain, Castro tak memungkiri polemik putusan tersebut bisa saja berdampak pada revisi UU MK yang saat ini tinggal menunggu pengesahan di rapat paripurna.
Meskipun sebelumnya Wakil Ketua DPR Adies Kadir mengatakan pihaknya tak akan merevisi UU MK menyusul putusan pemisahan pemilu. Adies berkata demikian dengan dalih UU MK telah direvisi pada periode DPR sebelumnya.
“Kalau kemudian ada upaya menggulirkan kembali perubahan Undang-Undang MK motifnya jelas, itu adalah motif untuk mengkooptasi kembali MK karena dianggap tidak sejalan dengan DPR, terutama terhadap keputusan-keputusan MK yang dianggap membatalkan undang-undang yang dibuat oleh DPR dan pemerintah,” kata Castro.
Castro menyebut hal semacam ini juga bukanlah hal baru. Bahkan, di tahun 2022 lalu DPR juga pernah mengambil langkah mencopot Aswanto dari hakim konstitusi.
Diketahui, pencopotan itu buntut kekecewaan DPR lantaran banyak usulan undang-undang yang diajukan justru turut dianulir Aswanto sebagai hakim konstitusi. Tak hanya itu, Aswanto juga dianggap tidak menjalankan komitmennya sebagai hakim yang ditunjuk DPR.
“Kalau kemudian dianggap situasi ini akan memunculkan gonjang-ganjing dan upaya mengkooptasi kembali MK, saya kira ini sudah menjadi kebiasaan kan dan bukan kali pertama DPR melakukan itu,” ujarnya.
Senada, Direktur Eksekutif Trias Politika Strategis Agung Baskoro juga berpendapat polemik putusan tersebut bakal berdampak pada proses revisi UU MK di DPR. Termasuk, mengulang kasus pencopotan hakim Aswanto oleh DPR.
“Tapi ini lebih jauh untuk mengevaluasi secara total undang-undang itu Jadi bukan hanya satu hakim saja, bisa jadi sebagian besar hakim nanti,” kata Agung.
Atas dasar itu, menurut Agung, DPR dan MK harus duduk bersama untuk membahas tindak lanjut atas putusan pemisahan pemilu tersebut.
“Antara DPR dan MK perlu duduk bersama untuk memastikan ada konsensus, karena kita tahu keputusan MK ini final dan mengikat,” katanya.
Terbit di CNN Indonesia