Mengapa Idealisme Aktivis Tergerus Saat Masuk Partai Politik

FADLI ZON kerap menuai sorotan belakangan ini akibat pernyataannya yang kontroversial. Menteri Kebudayaan yang juga politikus Partai Gerindra itu dikritik akibat pernyataannya, antara lain, mengenai pemerkosaan massal pada Mei 1998 yang dianggap hanya rumor dan tidak disertai bukti kuat yang mendukungnya.
Ia pun dikritik oleh koalisi masyarakat sipil hingga anggota Komisi X Dewan Perwakilan Rakyat mencecarnya dengan sejumlah pertanyaan dalam rapat dengar pendapat pada Rabu, 2 Juli 2025. “Kalau Bapak (Fadli Zon) mempertanyakan kasus pemerkosaan massal dan seterusnya, itu sangat melukai kami, Pak,” kata anggota DPR dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Mercy Chriesty Barends, dalam rapat itu.
Dalam rapat tersebut, Fadli menyampaikan permintaan maaf atas pernyataan yang memicu kontroversi tersebut. Meski begitu, ia tetap mengatakan, “Massal itu sangat identik dengan terstruktur dan sistematis,” ujarnya yang terkesan mengingkari peristiwa pemerkosaan massal pada 1998.
Fadli juga menjelaskan bahwa penulisan ulang sejarah yang dilakukan tim Kementerian Kebudayaan bertujuan memperbarui narasi sejarah yang belum pernah tersampaikan dan menghadirkan narasi positif sebagai upaya pemersatu bangsa di tengah perbedaan. “Kami berharap sejarah ini sebagai pemersatu bangsa dari berbagai perbedaan,” ujarnya. “Kami melakukan update ini termasuk untuk temuan yang bersifat arkeologis, temuan sejarah yang lain, dan tone positif dalam sejarah kita.”
Dia juga pernah menjadi sorotan saat menggulirkan rencana pemberian gelar pahlawan nasional kepada Presiden Suharto. Ia menilai mertua Prabowo Subianto itu layak menyandang gelar pahlawan.
Fadli adalah salah satu contoh mantan aktivis mahasiswa yang terjun ke gelanggang politik. Pria yang lahir pada 1 Juni 1971 itu pernah menjadi pengurus senat mahasiswa Universitas Indonesia. Ia pertama kali berkiprah di politik ketika menjadi anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat dari golongan pemuda pada 1997.
Setelah Reformasi 1998, Fadli masuk barisan pendiri Partai Gerindra bersama Prabowo pada 2008. Setelah dua periode menjabat anggota DPR, yakni 2014-2019 dan 2019-2024, ia diangkat menjadi Menteri Kebudayaan oleh Prabowo yang terpilih sebagai Presiden RI 2024-2029.
Kiprah aktivis mahasiswa kembali menjadi sorotan setelah 150 mantan anggota kelompok Cipayung—forum diskusi sejumlah lembaga kemahasiswaan ekstrakampus—bergabung ke Partai Golkar pada 28 Juni 2025. Sebelum ke-150 mantan aktivis ini masuk partai, sudah banyak mantan aktivis mahasiswa lain yang akhirnya memilih terjun ke gelanggang politik, di antaranya Budiman Sudjatmiko, Fahri Hamzah, dan Mugiyanto Sipin.

Sebelum bergabung ke PDIP pada 2004, Budiman semasa jadi mahasiswa merupakan aktivis prodemokrasi dan menjadi pendiri Partai Rakyat Demokratik pada 1996. Ia dipenjara pada masa Orde Baru karena divonis terlibat peristiwa 27 Juli 1996.
Belakangan, Budiman putar haluan politik. Ia memilih berseberangan sikap dengan PDIP dan mendukung Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka dalam pemilihan presiden 2024. Dukungan ini sangat kontras dengan sikap Budiman sebelumnya yang getol mengkritik pemerintahan Presiden Suharto ataupun Prabowo. Setelah Prabowo menjadi presiden, Budiman diangkat sebagai Kepala Badan Percepatan Pengentasan Kemiskinan.
Adapun Fahri Hamzah semasa jadi mahasiswa pernah menjabat Ketua Forum Studi Islam di Universitas Indonesia dan terlibat pendirian Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia. Lembaga ekstrakampus ini ikut dalam gerakan mahasiswa untuk menggulingkan Orde Baru.
Setelah Reformasi, Fahri bergabung ke Partai Keadilan Sejahtera. Dia dua kali menjadi anggota DPR, yaitu periode 2004-2009 dan 2009-2014. Ia lantas keluar dari PKS, lalu mendirikan Partai Gelombang Rakyat Indonesia. Kini ia menjabat Wakil Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman di kabinet Prabowo.

Sementara itu, Mugiyanto pernah menjadi aktivis Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi. Ia juga menjadi salah satu korban penculikan oleh anggota Tim Mawar—tim yang beranggotakan sejumlah prajurit Komando Pasukan Khusus Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat yang menculik sejumlah aktivis pada 1998.
Sebelum Prabowo mengangkatnya menjadi Wakil Menteri Hak Asasi Manusia, Mugiyanto pernah membujuk dan mempertemukan keluarga korban penghilangan paksa 1998 dengan petinggi Partai Gerindra. Langkah Mugiyanto itu menuai sorotan dari kalangan Ikatan Keluarga Orang Hilang.
Direktur Eksekutif Trias Politika Strategis Agung Baskoro mengatakan aktivis memang cenderung bersikap pragmatis setelah bergabung ke partai politik. Hal itu tidak terlepas dari tingginya biaya politik sehingga mereka akan memprioritaskan pengembalian modal lebih dulu.
“Mindset seperti ini yang akhirnya membuat mereka terjerumus dalam kasus,” katanya pada Ahad, 6 Juli 2025.
Agung juga menilai ekosistem partai politik di Indonesia belum sepenuhnya mendukung kaderisasi ataupun pelatihan untuk para kader berlatar belakang aktivis. Kondisi ini membuat aktivis yang masuk ke partai politik gagal berkembang dan justru stagnan.
Peneliti Utama Badan Riset dan Inovasi Nasional Siti Zuhro menyatakan orientasi partai politik terhadap kepentingan dan kekuasaan sering membuat mantan aktivis tergoda sehingga menanggalkan kepentingan rakyat. Kekuasaan dinilai menjadi peluntur daya kritis mantan aktivis yang bergabung ke partai politik. “Menjadi politikus berarti harus menunjukkan keberpihakan kepada partai,” ujarnya.
Dosen ilmu politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Adi Prayitno, menduga faktor kegagalan mantan aktivis bersinar setelah masuk ke partai politik adalah ambisinya untuk meraih kekuasaan. “Dengan berpartai, aktivis bisa naik kelas,” ucapnya.
Ada berbagai solusi yang ditawarkan agar mantan aktivis tidak terjerembap di kubangan setelah terjun ke panggung politik. Misalnya, Agung mendorong mantan aktivis diberi pembekalan agar potensinya dapat diberdayakan.
Ketua Umum DPP Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia Arjuna Putra Aldino mengusulkan perubahan ekosistem di partai politik. Ia menilai ekosistem perpolitikan di Tanah Air saat ini masih padat modal dan transaksional. Tanpa perubahan itu, kata dia, idealisme para mantan aktivis pasti akan tergerus. “Ujung-ujungnya akan mengkhianati cita-cita perjuangan,” tuturnya.
Adapun Siti Zuhro khawatir penguatan masyarakat sipil akan sulit dilakukan ketika banyak aktivis bergabung ke partai politik. Sebab, suara-suara kritis dari bawah terhadap kebijakan pemerintah akan tergerus. “Jumlah aktivis yang berpihak kepada kepentingan rakyat berkurang,” ujarnya.
Terbit di TEMPO