Apa penyebab meledaknya aksi protes di Indonesia dan dampaknya bagi Presiden Prabowo?

Aksi protes berujung ricuh yang terjadi di Jakarta dan beberapa kota di Indonesia pada Jumat (29/8) adalah kulminasi dari kekecewaan masyarakat terhadap anggota DPR yang dianggap tidak peka terhadap kesulitan yang dialami masyarakat saat ini, ujar para pengamat.
Kekecewaan itu kemudian meledak ketika terjadi kekerasan oleh polisi yang menewaskan pengemudi ojek online pada aksi protes menentang tunjangan anggota DPR pada Kamis lalu (29/8), membuat kantor polisi dan gedung DPR menjadi sasaran amuk massa.
Para pengamat mengatakan, kondisi ini bisa menjadi efek domino yang pada akhirnya mengancam pemerintahan Presiden Prabowo Subianto jika pemerintah tidak juga bertindak tegas.
Pernyataan Prabowo yang meminta pengusutan kekerasan oleh polisi pada Jumat dinilai hanya formalitas belaka dan presiden harus mengambil langkah konkret untuk menghentikan kekerasan polisi dan menunjukkan bahwa pemerintah mendengarkan aspirasi rakyat, ujar para pengamat.
“Prabowo seakan berada di bubble-nya sendiri, dia seakan tidak tahu kondisi riil di masyarakat sehingga pernyataannya itu terkesan normatif, padahal kondisi di masyarakat sudah sangat marah,” kata Kunto Adi Wibowo, pengamat politik dari Universitas Padjadjaran, kepada CNA.
“Pernyataan Prabowo justru tidak mencapai tujuannya untuk menenangkan masyarakat.”

MARAH TERHADAP DPR, LALU POLISI
Pada Sabtu pagi (30/9), masyarakat Jakarta diperlihatkan sisa-sisa kerusuhan yang terjadi sehari sebelumnya. Mobil-mobil yang tinggal kerangkanya berserakan di jalanan depan Markas Komando Brigade Mobil di Kwitang, Jakarta Pusat.
Halte-halte bus dan pos-pos polisi di beberapa wilayah Jakarta hangus terbakar. Sisa-sisa jelaga menjadi saksi kericuhan dari Jumat hingga Sabtu dini hari.
Sementara tembok-tembok Kantor Polda Metro Jaya dan pagar gedung DPR RI di Jakarta dipenuhi coret-coretan bernada anti polisi.
Pada Sabtu pagi, bentrokan singkat sempat terjadi di depan Mako Brimob Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat. Polisi menembakkan gas air mata untuk mengusir massa yang mengendarai belasan sepeda motor.
Selain di Jakarta, aksi massa juga terjadi di beberapa kota di Indonesia sebagai bentuk kemarahan atas kematian Affan Kurniawan.
Affan, 21, meninggal dunia ditabrak dan dilindas kendaraan lapis baja milik Brimob Polri yang hendak membubarkan massa aksi protes pada Kamis malam. Ketika itu, Affan tengah mengantarkan pesanan makanan, tidak terlibat dalam aksi.
Di Makassar, Sulawesi Selatan, tiga orang tewas saat gedung DPRD dibakar oleh ratusan orang pada Jumat. Puluhan mobil juga ikut dibakar di jalanan depan gedung tersebut.
Aksi serupa namun tidak sampai memakan korban jiwa terjadi juga di Surabaya, Bandung, Solo, dan Yogyakarta.
Di Malang, Jawa Timur, tim CNA melihat setidaknya empat pos polisi dirusak dan dibakar.
Di salah satu pos, jendela-jendela dipecahkan dan papan-papan penunjuk arah dihancurkan. Tentara terlihat di lokasi pada Sabtu untuk membersihkan pecahan kaca, perabotan yang rusak dan puing-puing bangunan.
Supriyanto, seorang juru parkir di sebuah pusat perdagangan dekat pos polisi yang rusak parah, mengatakan bahwa ia “dapat mencium bau bensin yang digunakan massa untuk melakukan pembakaran”.
Kondisi di Jakarta dan beberapa kota lainnya di Indonesia masih sangat cair dengan kemungkinan bentrokan pecah kapan pun.
Kematian Affan membuat tuntutan massa bertambah, dari sebelumnya menentang kenaikan tunjangan DPR, menjadi aksi menentang kesewenang-wenangan polisi.
“Eskalasi ini sudah bisa diprediksi sebelumnya,” kata Ambang Priyonggo, pengamat politik dari Universitas Multimedia Nusantara kepada CNA.
“Ini adalah akumulasi dari kekecewaan masyarakat terhadap elite politik yang kebijakan yang tidak berpihak kepada mereka, ditambah lagi oleh kematian Affan, jadi eskalasinya semakin meningkat,” lanjut Ambang.
Para pengamat mengatakan, tunjangan anggota DPR yang naik hingga sebesar RP50 juta untuk perumahan, hampir 10 kali lipat UMR Jakarta, terjadi di tengah berbagai kesulitan yang dihadapi masyarakat, mulai dari penghematan yang dilakukan pemerintah, sulitnya lapangan pekerjaan hingga ancaman badai PHK.
Beberapa anggota DPR menanggapi protes masyarakat dengan kata-kata yang dianggap tidak pantas.
Salah satunya Ahmad Sahroni anggota dewan dari Partai Nasional Demokrat (Nasdem) yang menyebut masyarakat ingin membubarkan DPR adalah “orang tolol sedunia”.
“Problem utamanya adalah insensitivitas,” kata Ambang.
MAYORITAS PARLEMEN PENDUKUNG PEMERINTAH
Agung Baskoro, pengamat politik dari lembaga Trias Politika, mengatakan aksi protes beberapa kali berlangsung di depan gedung DPR karena berbagai kebijakan yang dianggap tidak pro-rakyat dan hanya mementingkan diri sendiri, salah satunya tunjangan.
DPR, kata dia, juga tidak melakukan fungsi check and balance terhadap pemerintahan sehingga membuat masyarakat yang tidak puas dengan kebijakan Prabowo tidak merasa terwakili.
Pasalnya, 470 dari total 580 kursi DPR atau 81,0 persen adalah anggota dari partai-partai koalisi pemerintahan Prabowo. Agung mengatakan, kondisi mayoritas ini akhirnya membuat anggota parlemen “lupa dan terlena”.
“Mereka bukan sekadar stempelnya pemerintah. Jika fungsi pengawasan, legislasi, budget dan representasi itu jalan, tidak mungkin massa terus menerus turun ke jalan,” kata Agung.
Ketika massa aksi protes ricuh di jalanan pada Jumat, Ketua DPR RI, Puan Maharani, mengeluarkan pernyataannya yang meminta maaf.
“Atas nama seluruh anggota dan pimpinan DPR RI, kami meminta maaf apabila belum sepenuhnya dapat menjalankan tugas kami sebagai wakil rakyat,” kata Puan.
Menurut Kunto dari Universitas Padjadjaran, permintaan Puan itu sudah terlambat.
“Seharusnya sebagai Ketua DPR, dia meminta maaf ketika komentar jelek dan provokasi dari anggotanya muncul. Jika demikian, mungkin kemarahan warga tidak sampai seperti ini,” kata Kunto.
Para pengamat mengatakan bahwa DPR perlu memperbaiki cara komunikasi mereka ke publik agar tidak mengeluarkan pernyataan yang justru memicu kemarahan.
“Dan maaf saja tidak cukup, tapi perlu ada tindakan dengan perubahan kebijakan, salah satunya dengan membatalkan atau menunda pemberian tunjangan,” kata Agung dari Trias Politica.

APA DAMPAKNYA KE PRABOWO?
Indonesia akrab dengan aksi protes yang berujung kerusuhan. Di aksi protes besar pada krisis moneter 1998, ribuan mahasiswa menduduki gedung DPR dalam sebuah peristiwa Reformasi.
Presiden Soeharto yang telah berkuasa selama lebih dari tiga dekade memutuskan mundur, mengakhiri rezim Orde Baru.
Ray Rangkuti, Pengamat politik dari lembaga Lingkar Madani (LIMA), mengatakan kondisi kericuhan yang terjadi pekan ini tidak akan sampai menggeser kepemimpinan Prabowo.
“Dari skala eskalasinya, kemungkinan tidak (akan sampai merembet ke Prabowo),” kata Ray yang merupakan aktivis dalam peristiwa Reformasi 1998 kepada CNA.
Menurut Kunto dari Universitas Padjadjaran, tuntutan massa saat ini adalah soal protes tunjangan anggota DPR dan kekerasan polisi yang menewaskan Affan.
“Untuk saat ini tidak ada satu pun tuntutan ke pemerintah, tapi ini bisa jadi domino (jika tidak diselesaikan),” ujar Kunto.

Agung mengatakan bahwa Prabowo telah mencoba meredam kemarahan massa dengan pernyataannya pada Jumat. Selain mendesak pengusutan atas kekerasan polisi, Prabowo juga menyatakan akan menjamin kehidupan keluarga Affan.
“Pernyataannya cukup empatik, namun saya menunggu presiden memastikan ada reformasi total di tubuh kepolisian, karena dia adalah panglima tertingginya,” kata Agung.
Reformasi total kepolisian juga merupakan tuntutan Koalisi Masyarakat Sipil yang terdiri dari gabungan ratusan lembaga sipil di Indonesia.
Dalam pernyataannya pada Jumat, mereka juga mendesak Prabowo mencopot Kepala Polisi RI Listyo Sigit Prabowo karena dianggap gagal mengubah watak represif Polri.
“Reformasi kepolisian harus dilakukan dari atas sampai ke bawah, dibenahi secara drastis,” kata Agung.
“Bukan hanya protap penanganan aksi massa, tapi hal-hal substantif lain, seperti pelayanan publik atau meritokrasi di tubuh kepolisian.”
Ray dari Lingkar Madani mengatakan bahwa Prabowo juga harus melakukan reformasi birokrasi, salah satunya dengan mencopot wakil menteri yang rangkap jabatan menjadi komisaris.

Saat ini ada 30 dari 56 wakil menteri yang menjabat komisaris di berbagai perusahaan milik negara, BUMN.
Mahkamah Konstitusi pada Kamis lalu mengeluarkan keputusan yang melarang wakil menteri rangkap jabatan, dan memberikan waktu dua tahun kepada pemerintah untuk melaksanakan keputusan tersebut.
Ray mengatakan bahwa ia berharap Prabowo akan bergerak cepat untuk mematuhi keputusan MK itu.
“Hal ini agar masyarakat merasa bahwa presiden benar-benar bisa berhemat, tidak memanjakan para pembantunya. Jangan sampai rakyat disuruh bersabar, sementara para elite terus mendapat fasilitas,” kata Ray.
Terbit di CNA