Angin Segar Putusan MK Pisahkan Pemilu Nasional dan Lokal

Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan penyelenggaraan pemilihan umum (pemilu) nasional dan daerah dipisahkan dengan jeda waktu paling singkat dua tahun atau paling lama dua tahun dan enam bulan.
Pemilu nasional antara lain pemilihan anggota DPR, DPD, serta presiden dan wakil presiden, sementara pemilu daerah terdiri atas pemilihan anggota DPRD provinsi, DPRD kabupaten dan kota serta kepala dan wakil kepala daerah
MK dalam satu pertimbangan hukumnya menyatakan penyelenggaraan yang berdekatan antara pemilu nasional dan daerah/lokal menjadikan partai politik mudah terjebak dalam pragmatisme.
Hakim Konstitusi Arief Hidayat saat sidang pengucapan Putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024 di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, Kamis (26/6) mengatakan kecenderungan itu terjadi karena parpol tidak memiliki cukup waktu untuk menyiapkan kadernya berlaga pada setiap jenjang pemilu.
Putusan itu menuai respons beragam, salah satunya dari NasDem. Anggota Majelis Tinggi Partai NasDem Lestari Moerdijat mendesak DPR supaya meminta penjelasan lebih lanjut dari MK soal putusan itu.
Wakil Ketua MPR itu mengatakan putusan MK tersebut telah melanggar UUD 1945 karena bertentangan dengan pasal 22E ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa pemilu diselenggarakan tiap 5 tahun sekali.
Kondisi itu, kata dia, berpotensi menimbulkan krisis bahkan deadlock constitutional karena dapat melanggar konstitusi. Karenanya ia menilai Putusan MK tidak mempunyai kekuatan mengikat.
“MK telah menjadi negative legislator sendiri yang bukan kewenangannya dalam sistem hukum yang demokratis dan tidak melakukan metode moral reading dalam menginterpretasi hukum dan konstitusi,” kata dia.
Direktur Eksekutif Democracy and Electoral Empowerment Partnership (DEEP) Indonesia, Neni Nur Hayati menilai putusan MK itu menandai tonggak penting perbaikan desain kelembagaan demokrasi di Indonesia, khususnya dalam menyusun sistem pemilu yang lebih efektif, efisien, dan berkeadilan.
Menurutnya, pemilu serentak seperti yang terjadi pada 2019 dan 2024 telah menciptakan beban administratif dan teknis yang sangat besar bagi penyelenggara pemilu.
Tidak hanya itu, ia berpendapat model pemilu serentak juga menyulitkan pemilih untuk membuat pilihan yang rasional karena harus memilih lima jenis jabatan dalam satu hari dengan jumlah calon yang sangat banyak.
“Di sisi lain, partai politik juga kesulitan mempersiapkan calon legislatif dan eksekutif di berbagai tingkatan secara bersamaan, sehingga proses rekrutmen cenderung bersifat instan dan didasarkan pada popularitas semata,” kata Neni saat dihubungi, Selasa (1/7).
Lebih lanjut, ia mengatakan jadwal Pemilu 2024 yang memisahkan pemilu legislatif, pilpres pada Februari dan pilkada pada November tanpa ada pengaturan hukum yang sesuai, telah memperlihatkan tumpang tindih tahapan, kelelahan publik, serta potensi kejenuhan demokrasi.
Penumpukan tahapan pemilu dan pilkada itu dinilai bukan hanya melelahkan bagi penyelenggara, tetapi juga mengganggu konsentrasi partai politik dan pemilih dalam menilai kualitas para calon.
“Dalam konteks ini, putusan MK menjadi angin segar yang membuka ruang untuk mendesain ulang sistem kepemiluan nasional secara lebih sistematis, rasional, dan partisipatif,” ujar Neni.
Terpisah, Direktur Eksekutif Trias Politika Agung Baskoro mengapresiasi putusan MK yang dinilai progresif. Agung mengatakan putusan itu punya dampak positif bagi pemilih, penyelenggara pemilu dan peserta pemilu.
“Bagi pemilih itu membuat mereka menjadi fokus memilih. Jadi ada jeda antara pemilu nasional dengan pemilu lokal, sehingga konsentrasi mereka ketika pileg itu jelas siapa anggota dewan yang mereka pilih. Tidak akan berbaur dengan pileg di daerah,” kata Agung.
Bagi penyelenggara pemilu, gelaran pemilu yang dipisah dinilai akan mengurangi beban teknis dan taktis di lapangan.
Ia menyinggung banyak kasus KPPS yang kelelahan hingga meninggal dunia di pemilu serentak sebelumnya.
“Beban kerja mereka menjadi lebih manusiawi dan humanis, jadi KPU bisa lebih fokus untuk mengarahkan kerja-kerja yang lebih berkualitas ke depannya untuk mengusung pemilu kita agar lebih baik,” kata Agung.
Agung juga berpendapat putusan itu menguntungkan peserta pemilu atau partai politik karena akan ada waktu yang cukup bagi partai untuk memilih kader berkualitas untuk dicalonkan di tiap tingkatan.
“Saya bingung kalau mereka tidak mengapresiasi, karena mereka yang diuntungkan,” ujar Agung.
Agung mengatakan putusan MK itu menimbulkan pertanyaan soal masa jabatan kepala daerah maupun anggota DPRD yang semula habis pada 2029.
Untuk kepala daerah, kata dia, masih ada opsi ditunjuk Penjabat sementara (Pjs) atau Pelaksana Tugas (Plt). Namun, opsi itu tidak memungkinkan untuk para anggota DPRD.
“Apakah diperpanjang masa jabatannya dari 5 tahun ke 7 tahun atau di PAW nih, digantikan sama nomor-nomor di bawah yang belum terpilih misalkan,” kata Agung.
“Opsinya perpanjangan, dan itu efeknya ke revisi undang-undang pemilu dan buat DPR kita capek, komisi II jadi tambah kerjaan istilahnya, itu salah satu mudarat,” imbuh dia.
Agung juga menyoroti soal model keserantakan yang nantinya akan tetap dilakukan di pemilu lokal.
Dengan model itu, menurutnya ada potensi perhatian pemilih juga akan lebih tersedot ke Pilgub ketimbang Pilwako atau Pilbup.
“Misalkan Jawa Barat lagi ramai Kang Dedi Mulyadi Pilgub 2031, otomatis 29 kota/kabupaten di Jabar itu kan akhirnya gak terlalu dilirik sama pemilih, padahal mereka tinggal di kota/kabupaten mereka sendiri. Akhirnya tersedot di Pilgub ketimbang di Pilwako sama Pilbup,” kata Agung.
Sementara itu, Neni mengatakan putusan MK itu tidak bisa berdiri sendiri. Revisi UU Pemilu dan UU Pilkada dinilai menjadi hal yang mutlak dan mendesak secara terbuka, partisipatif, dan bebas dari kepentingan jangka pendek elite politik.
“Kedua undang-undang tersebut harus segera dibahas ulang secara menyeluruh, terintegrasi, dan menggunakan metode kodifikasi, agar tidak terjadi tumpang tindih aturan serta menciptakan sistem yang mudah dipahami oleh penyelenggara dan masyarakat,” katanya.
Agung juga menyoroti soal model keserantakan yang nantinya akan tetap dilakukan di pemilu lokal.
Dengan model itu, menurutnya ada potensi perhatian pemilih juga akan lebih tersedot ke Pilgub ketimbang Pilwako atau Pilbup.
“Misalkan Jawa Barat lagi ramai Kang Dedi Mulyadi Pilgub 2031, otomatis 29 kota/kabupaten di Jabar itu kan akhirnya gak terlalu dilirik sama pemilih, padahal mereka tinggal di kota/kabupaten mereka sendiri. Akhirnya tersedot di Pilgub ketimbang di Pilwako sama Pilbup,” kata Agung.
Sementara itu, Neni mengatakan putusan MK itu tidak bisa berdiri sendiri. Revisi UU Pemilu dan UU Pilkada dinilai menjadi hal yang mutlak dan mendesak secara terbuka, partisipatif, dan bebas dari kepentingan jangka pendek elite politik.
“Kedua undang-undang tersebut harus segera dibahas ulang secara menyeluruh, terintegrasi, dan menggunakan metode kodifikasi, agar tidak terjadi tumpang tindih aturan serta menciptakan sistem yang mudah dipahami oleh penyelenggara dan masyarakat,” katanya.
Terbit di CNN Indonesia