Politik Tanpa Partai: Jalan Baru Anak Muda Indonesia

Pemuda adalah kembang zamannya. Setiap generasi punya momen mekar dan layu sendiri. Namun tak akan ada yang menampik: kaum muda adalah pengubah arah, pendobrak batas. Begitupun generasi muda hari ini, dengan segala tantangan dan harapannya, menjadi arus yang punya arah dan karakteristik yang jauh berbeda dengan generasi terdahulu, terutama dalam gelanggang aktivitas sosial dan politik.
Dari segi aktivisme politik, anak muda hari ini terus berkembang pesat. Survei anyar yang dirilis Kawula17 pada Agustus 2025 setidaknya menggambarkan kondisi tersebut. Laporan berjudul National Benchmark Survey (NBS) dari Yayasan Pelopor Pilihan Tujuhbelas ini merupakan refleksi atas semester pertama tahun 2025. Hasilnya, dari tingkat aktivisme, anak muda saat ini semakin tertarik pada isu-isu lingkungan, HAM, gender, dan korupsi, serta mengikuti perkembangannya melalui berita atau diskusi.
Tingkat aktivisme menunjukkan level partisipasi orang muda Indonesia merespons isu-isu sosial dan politik selama setahun terakhir. Di semester pertama 2025 ini, orang muda yang berusia 17-35 tahun termasuk (sangat) aktif ketika dihadapkan isu-isu sosial dan politik.
Jumlah pemuda dalam kategori ‘activist’ naik 15 persen dari semester sebelumnya. Adapun dari jumlah kategori ‘participant’, memiliki angka besar sebanyak 42 persen. Hal ini tampak menunjukkan bahwa pemuda hari ini semakin aktif dan tertarik menggeluti isu-isu negara.

Masih dalam survei sama, ditilik berdasarkan spektrum politik, 1 dari 2 anak muda Indonesia cenderung punya pandangan sangat progresif. Sebanyak 49 persen di antaranya tergolong sangat progresif atau progresif, dengan tambahan 40 persen berada di posisi sentris yang condong ke arah progresif.
Temuan ini menunjukkan bahwa orang muda Indonesia secara konsisten menaruh perhatian dan kepedulian pada nilai kesetaraan serta keadilan sosial.
Hal ini senada dengan survei yang dilaksanakan Tirto bersama Jakpat, pada 4-5 Juli 2023 dengan melibatkan 1.500 orang responden berusia 17-19 tahun. Terkait dengan ketertarikan responden terhadap politik, hasil survei menunjukkan bahwa mayoritas responden mengaku secara aktif mencari informasi terkait politik dan tertarik dengan dinamika politik dalam negeri.
Kebanyakan menyatakan “cukup tertarik” dengan isu-isu politik, sebesar 46,08 persen. Namun secara umum, jika menghitung yang menjawab tertarik dan cukup tertarik dan aktif mencari informasi, total responden yang tertarik dengan isu politik dan mencari informasi secara aktif jumlahnya lebih dari 73 persen. Hanya kurang lebih sekitar 26 persen responden yang tidak tertarik dan tidak aktif mencari informasi soal politik.
Analis politik dari Trias Politika, Agung Baskoro, memandang pemuda kiwari memang punya progres yang signifikan pada kesadaran politik. Utamanya, informasi dan diskursus mereka dapatkan dari sebaran unggahan dan viralitas konten di media sosial (medsos). Hal ini jadi ciri utama yang khas jika dibandingkan dengan generasi-generasi sebelumnya.
“Suka atau tidak, sosial media ini membantu menggerakkan mobilisasi massa di satu sisi. Di sisi yang lain, mengkonversi itu ke dalam sebuah aksi-aksi nyata adalah hal lain. Yang itu butuh waktu, butuh energi, butuh sumber daya lain,” terang Agung kepada wartawan Tirto, Selasa (14/10/2025).
Senada, survei Tirto bersama Jakpat juga menemukan bahwa media sosial menjadi sarana utama generasi muda untuk mencari informasi soal isu-isu politik, dipilih oleh lebih dari 90 persen responden. Tak ada kanal lain yang proporsi pilihan respondennya mendekati media sosial, menunjukkan betapa pentingnya media sosial bagi pemilih pemula dalam mencari informasi terkait isu politik.
Kesadaran politik yang terbangun dari diskursus di dunia maya disebut Agung sebagai click activism atau aktivisme klik. Menjamurnya informasi, termasuk isu persoalan negara, dapat dengan mudah ditangkap dan direspons anak-anak muda peselancar medsos. Dari sanalah muncul komentar, sikap, bahkan seruan aksi yang lebih nyata, meskipun sifat alamiahnya, ungkap Agung, kesadaran politik dari medsos ini bersifat ‘permukaan’.

“Jadi aktif terlibat, tapi di permukaan. Ada beberapa yang lebih advance atau lebih dalam dari itu, tapi memang tidak banyak. Tapi menurut saya itu tiap zaman memang punya gaya dan caranya,” ucap Agung.
Telaah Agung mengindikasikan gerakan anak muda yang lebih canggih atau praksis tetap bisa lahir dalam ruang publik riil dengan pemantik yang terkonsolidasi lewat medsos. Hal ini bisa terlihat dari aksi unjuk rasa ‘Indonesia Gelap’, ‘Peringatan Darurat Garuda Biru’, hingga aksi massal di berbagai daerah terkait tunjangan DPR dan kinerja pemerintah.

Dalam hal ini lagi-lagi, gerakan politik kaum muda hari ini punya ciri khas, mereka bergerak condong dipantik oleh isu-isu atau persoalan yang dekat dengan kehidupannya. Hal ini jadi membuat gerakan politik anak muda sekarang lebih cair, berbasis isu, dan cenderung lepas dari struktur politik formal dan basis gerakan ideologis.
“Lapangan kerja misalkan, Bagaimana caranya dapat kerja abis lulus. Gimana caranya nyicil rumah KPR yang ramah buat kantong mereka. Gimana caranya bisa dapat subsidi token listrik, atau air, atau internet, kuota. Jadi mereka lebih banyak mengambil isu-isu yang dekat dengan keseharian mereka, yang konkrit, yang praktis,” kata Agung.
Ingin Lepas dari Partai Politik yang Elitis
Kecenderungan pemuda hari ini menjauh dari struktur dan arena politik formal misal terlihat dari rendahnya anak-anak muda berkecimpung dalam partai politik (parpol). Seperti tampak dari hasil survei The Indonesian Institute (TII), Center for Public Policy Research, pada 2022 berjudul “Persepsi Anak Muda terhadap Pemilu dan Pilkada Serentak Tahun 2024”.
Angket yang mencoba menangkap persepsi pemuda (17-30 tahun) jelang Pemilu 2024 lalu itu, mengungkap bahwa anak muda Indonesia masih cukup aktif berpartisipasi di organisasi pelajar, mahasiswa, dan kepemudaan, dengan hampir separuh responden (49,48 persen) terlibat aktif. Angka ini mengindikasikan ruang pendidikan dan komunitas sosial cenderung menjadi wadah utama bagi proses pembelajaran kepemimpinan, solidaritas, serta kesadaran sosial dan politik di kalangan muda.
Keikutsertaan Anak Muda dalam Organisasi, LSM, dan Parpol
Survei The Indonesian Institute (2022) jelang Pemilu 2024, menampilkan partisipasi anak muda Indonesia lebih kuat pada ranah organisasi pelajar, mahasiswa, dan kepemudaan ketimbang partai politik atau LSM.
Ketika masuk ke wilayah politik formal, keterlibatan itu merosot tajam—lebih dari 90 persen tidak bergabung dengan partai. Sebaliknya, LSM menjadi pilihan tengah, mencerminkan kecenderungan anak muda memilih bentuk partisipasi yang lebih berbasis isu dan nilai ketimbang ideologi partai.

Sebaliknya, temuan mengenai keikutsertaan anak muda dalam partai politik memperlihatkan kesenjangan yang mencolok. Sebanyak 91,49 persen responden menyatakan tidak ikut partai politik, sementara yang benar-benar aktif dalam kepengurusan hanya 3,19 persen. Ini menandakan adanya jarak yang lebar antara generasi muda dan lembaga politik formal yang selama ini menjadi pilar utama demokrasi elektoral.
Rendahnya keterlibatan ini dapat dimaknai sebagai refleksi krisis kepercayaan terhadap partai politik yang kerap dianggap elitis, pragmatis, dan tidak representatif terhadap aspirasi generasi muda.
Di sisi lain, partisipasi pemuda dalam aktivitas LSM menunjukkan dinamika lebih seimbang. Meskipun 74,47 persen responden menyatakan tidak ikut, sekitar 21,28 persen justru terlibat aktif, angka yang jauh lebih tinggi dibandingkan keterlibatan partai. Hal ini menggambarkan preferensi anak muda terhadap bentuk partisipasi yang lebih fleksibel, konkret, dan berbasis isu seperti lingkungan, kesetaraan gender, pendidikan, dan hak asasi manusia.
Tingkat Kepercayaan Pemilih Muda terhadap Lembaga Negara
Survei dari Center for Strategic and International Studies (CSIS) Indonesia yang dirilis pada 2023 lalu menunjukkan bahwa segmen pemilih muda (17-39 tahun) mayoritas mempercayai lembaga TNI dan Presiden. Lembaga perwakilan rakyat yakni DPR, justru berada di urutan terbawah.

LSM dinilai memberi ruang bagi ekspresi nilai, kepedulian, dan kreativitas sosial tanpa harus tunduk pada hierarki atau kalkulasi politik praktis. Secara keseluruhan, pola partisipasi ini menegaskan bahwa anak muda bukanlah generasi yang apatis, melainkan generasi yang mencari bentuk baru terhadap partisipasi politik yang lebih otentik, kolaboratif, dan relevan dengan konteks zaman.
Memudarnya kepercayaan terhadap lembaga politik formal seperti partai tampak jelas dari rendahnya tingkat kepercayaan anak muda terhadap institusi perwakilan rakyat, yakni DPR. Gambaran ini muncul dalam survei jelang Pemilu 2024 yang dilakukan Center for Strategic and International Studies (CSIS) Indonesia pada 2023.
Dari hasil survei yang mencoba menangkap persepsi pemilih muda itu, tingkat kepercayaan responden yang diisi pemuda 17-39 tahun terhadap kelembagaan DPR menjadi yang paling rendah. Bahkan, tingkat kepercayaan anak muda pada kekuasaan eksekutif, yakni Presiden, lebih rendah ketimbang kepercayaan mereka pada institusi TNI.
Kecenderungan gerakan politik anak muda hari ini yang berbasis isu juga dapat terlihat dari perhatian pemilih muda terhadap persoalan kesejahteraan rakyat dan tindakan elite pejabat yang masih diwarnai praktik korupsi. Survei CSIS Indonesia menunjukkan, isu ekonomi dan pemberantasan korupsi menjadi yang paling disoroti oleh para pemilih muda.
Isu Paling Menarik Pemilih Muda di Pemilu 2024
Survei dari Center for Strategic and International Studies (CSIS) Indonesia yang dirilis pada 2023 lalu menunjukkan bahwa sebagian besar pemilih muda (17-39 tahun) melihat isu ekonomi dan korupsi masih menjadi isu politik penting yang menarik minat mereka. Sebesar 44,4 persen responden menaruh perhatian pada aspek peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Bilal (18), mahasiswa Universitas Indonesia (UI), mengaku jenuh dengan wadah dan bentuk aktivisme politik anak muda yang berbentuk formal seperti partai atau organisasi mahasiswa ekstra kampus (Ormek). Pemuda asal Kota Depok itu menyatakan lebih cocok berkegiatan dalam organisasi atau komunitas sosial-politik yang tidak kaku dan tak perlu kaderisasi.
Ia menilai cenderung lebih senang mengikuti diskusi nonformal yang sering diadakan LSM atau komunitas yang berfokus pada pendidikan dan kesadaran sosial-politik.
“Parpol atau organisasi ekstra kampus kan ada aturan yang rigid, kegiatan wajib, buat saya bentuk kayak gitu malah lebih ribet karena menjadi anggota yang ada aturannya,” ujar dia kepada wartawan Tirto, Selasa (14/10/2025).
Sementara mahasiswa lainnya, Ferdian (21), menyoroti eksistensi Ormek dan parpol tetap perlu dilirik anak muda apabila ingin berkecimpung dalam gerakan politik. Pasalnya, saluran formal seperti itu dipandang sebagai jalan yang lebih terukur untuk pemuda berkecimpung di gelanggang politik elektoral atau arena politik formal.
Mahasiswa asal UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini menilai wadah pendidikan politik seperti komunitas hingga LSM memang bisa menjadi alternatif. Namun, Ferdian menilai kaderisasi sebagaimana dalam aktivitas Ormek dan Parpol, cenderung lebih menyeluruh dan terarah.
“Di Ormek jelas ada kaderisasi, semangat ideologis, dan kanal-kanal politik yang lebih bisa terlihat ujungnya,” ungkap Ferdian kepada wartawan Tirto, Selasa (14/10/2025).
Tenaga Ahli Madya Kedeputian V Kantor Staf Presiden (KSP), Cheryl Anelia Tanzil, menilai pendidikan politik menjadi sangat penting bagi anak muda hari ini. Cheryl juga menyatakan bahwa Pemerintah terus aktif dalam merangkul dan mengajak pemuda untuk berpartisipasi.
Pendidikan dan kesadaran politik bagi pemuda, kata Cheryl, juga melahirkan generasi yang kritis. Ia berharap dengan begitu muncul generasi yang melek literasi dan ikut berpartisipasi aktif dalam kemajuan Bangsa.
“Dengan kualitas pendidikan [politik] yang semakin tinggi, anak muda Indonesia bisa makin kritis, bukan hanya jadi watchdog pemerintah, tapi aktif memberikan aspirasi yang solutif juga,” kata Cheryl kepada wartawan Tirto, Selasa (14/10/2025).
Bentuk Partisipasi Politik Paling Banyak Dilakukan Pemuda
Hasil survei Katadata Insight Center pada Oktober 2023 menunjukkan bentuk partisipasi politik yang paling banyak dilakukan anak muda adalah menggunakan haknya untuk mencoblos saat pemilu (87,2%), sedangkan hanya (2%) anak muda yang akan berpartisipasi menjadi caleg.

Bagaimana Bentuk Partisipasi Anak Muda Kini?
Data survei Katadata Insight Center pada Oktober 2023 memperlihatkan dengan jelas arah baru partisipasi politik anak muda Indonesia. Sebanyak 87,2 persen responden menyatakan bentuk partisipasi politik utama mereka adalah menggunakan hak pilih atau mencoblos saat pemilu. Angka ini menunjukkan bahwa mayoritas generasi muda memahami pemilu sebagai bentuk paling konkret dan mudah diakses dalam keterlibatan politik.
Di balik tingginya partisipasi elektoral tersebut, tampak jurang cukup lebar antara partisipasi prosedural dengan partisipasi substantif. Hanya sebagian kecil pemuda menempuh langkah lebih aktif dalam panggung politik formal, yakni 3,2 persen yang menjadi anggota partai dan 2 persen yang berminat menjadi calon legislatif.
Di sisi lain, bentuk partisipasi politik nonformal seperti diskusi politik (18,6 persen) dan pendidikan politik melalui seminar atau forum (16 persen) justru menonjol sebagai arena alternatif bagi keterlibatan politik anak muda. Fenomena ini mengindikasikan adanya pergeseran orientasi politik dari struktur hierarkis ke ruang yang lebih cair dan kolaboratif.
Pemuda kiwari memilih ruang yang memberikan kesempatan untuk berpikir kritis, berdiskusi dengan terbuka, dan berpartisipasi tanpa repot terikat loyalitas ideologis. Ini mencerminkan lahirnya generasi yang lebih melek isu, namun menaruh curiga terhadap struktur politik yang cenderung elitis dan terikat patronase.
Terbit di Tirto


