Politik Rasa Fandom: Fanatisme, Polarisasi, & Ancaman Demokrasi

Suatu sore saat sedang menjelajah lini masa akun Instagram miliknya, Gina (29) merasa gerah dengan unggahan dari akun resmi milik gubernur yang memimpin wilayahnya.
Sang Gubernur terlihat sedang menarasikan sebuah kebijakan yang baru saja dia keluarkan. Dia pun, untuk ukaran kepala daerah, nampak aktif menggunakan media sosial sebagai sarana komunikasinya belakangan.
Teriring rasa kepedulian terhadap kampung halamannya, Gina lantas mengirimkan kritik terhadap kebijakan tersebut melalui kolom komentar.
Tak disangka, usai menuliskan kritik, Gina justru mendapatkan serangan siber dari netizen. Tidak tanggung-tanggung, kelompok yang kemudian ia labeli sebagai pendukung fanatik sang gubernur, bahkan mau repot-repot “mampir” ke akun pribadi Gina.
“Padahal cuma bilang kalo bikin kebijakan itu jangan asal dan harus ada basis ilmiahnya. Tapi di kolom komentar malah diserang sama pendukung fanatik beliau, bahkan ada yang nyerang sampe DM (direct message). Kalo gak percaya, coba aja komen begitu di akun dia (gubernur tersebut),” ujarnya saat bercerita dengan Tirto, Jumat (16/5/2025)
Imbas kejadian tersebut, Gina kapok memberikan kritik untuk kepala daerahnya itu. Satu hal yang pasti; ia malas berurusan dengan pendukung fanatik tokoh politik. Menurutnya mereka memuja politisi dengan membabi buta, cenderung antikritik dan enggan berdiskusi.
Polanya pun, menurut Gina, berlaku umum. Tak hanya dilakukan oleh fandom gubernur daerahnya, tapi juga ditemukan di fandom politisi lainnya.

Merujuk KBBI, istilah fandom merujuk ke kumpulan fan (artis, klub olahraga, film, dan sebagainya), biasanya bertukar formasi atau melakukan aktivitas bersama-sama, baik secara daring maupun luring. Dalam konteks politik, fandom bisa dikaitkan dengan kumpulan pendukung fanatik tokoh politik.
Dalam konteks global, hal ini juga menjadi praktik yang umum. Para pendukung Presiden Donald Trump misalnya. Dalam laporan Vox, disebutkan kalau politik kiwari semakin menyerupai fandom; keduanya melibatkan komunitas yang terbentuk, mereka juga bersatu karena hasrat, serta politik dan fandom juga sering terfokus secara intens pada satu figur publik.
Kesamaan lain, baik fandom dan politik sama-sama bergantung pada narasi besar bersama. Dalam dua subkultur tersebut juga umum muncul ruang gema (echo chamber) di media sosial yang memicu toksisitas, ekstremisme, dan cara berpikir yang delusional.
Istilah echo chamber effect (efek ruang gema) menjadi kian umum di media sosial. Dalam jurnalnya, Virani (2021) mendefinisikan echo chamber sebagai sebuah sebuah fenomena para pengguna internet yang memiliki kesukaan akan topik tertentu, yang kemudian dikelompokkan oleh sistem, untuk sering dipertemukan atau diperlihatkan dengan pengguna yang memiliki topik kesukaan yang sama.

Sementara Dosen Psikologi Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati, Nur’aini Azizah, menyelami konsep echo chamber dan politik. Dalam artikelnya untuk The Conversation Indonesia, dia mengatakan echo chamber effect dalam konteks dukungan politik adalah ketika para pendukung satu paslon berinteraksi dengan sesama pendukungnya. Mereka akan semakin sering berinteraksi, sehingga memperkuat dukungan mereka terhadap paslon tersebut dan memperkuat kebencian terhadap paslon lainnya.
Won-Ki Moon, Asisten Profesor Periklanan dari College of Journalism and Communications University of Florida, dan Soobum Lee, Profesor dari Departemen Komunikasi Massa di Incheon National University, Korea Selatan, menjelaskan dalam dunia politik, terdapat dua lapisan yang sering kali saling terkait: partisanship (kesetiaan terhadap partai politik) dan fandom politik.
Partisanship merujuk pada keterikatan kita terhadap partai politik tertentu. Hal ini membentuk cara pandang kita terhadap dunia dan memengaruhi bagaimana kita berinteraksi dengan sesama yang memiliki ideologi serupa.
Sementara, fandom politik melangkah lebih jauh. Ia menciptakan keterikatan emosional yang mendalam terhadap seorang tokoh politik tertentu.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Moon dan Lee, menunjukkan bahwa dalam konteks tertentu, fandom politik bisa membentuk identitas sosial yang lebih kuat dibandingkan partisanship. Individu yang memiliki keterikatan kuat terhadap tokoh politik tertentu, mungkin lebih mengutamakan loyalitas terhadap individu tersebut daripada terhadap ideologi partai. Kondisi ini, dalam keadaan tertentu justru bisa mengurangi kecenderungan menyebarkan informasi bias.
Dalam konteks Indonesia, memasuki pascareformasi masyarakat menjadi lebih bebas mengekspresikan dukungannya terhadap tokoh politik, baik melalui kampanye langsung, atau lewat saluran media sosial. Dalam konteks kampanye tidak langsung di media sosial (setidaknya satu dekade terakhir), tren peningkatan fanatisme dukungan terhadap tokoh politik turut meningkat. Ini seiring dengan meningkatnya akses masyarakat terhadap informasi digital.
Melihat para aktornya, hampir semua politisi di era modern; mulai dari Joko Widodo (Jokowi), Prabowo Subianto, Anies Baswedan, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), hingga terbaru Dedi Mulyadi memiliki basis pendukung fanatik yang kuat di media sosial. Mereka inilah yang bisa disebut dengan istilah populer saat ini sebagai fandom.
Publik Lebih Percaya Ketokohan Figur Ketimbang Parpol
Direktur Eksekutif Trias Politika Strategis, Agung Baskoro, menilai peningkatan fanatisme masyarakat Indonesia terhadap satu tokoh politik tertentu berkaitan dengan rendahnya tingkat kepercayaaan masyarakat atau ‘party ID’ (party identification) di Indonesia saat ini.
“Sehingga orang merasa tidak dekat dengan partai manapun dalam konteks mereka bisa menyalurkan aspirasi ataupun bisa belajar banyak dari partai itu sendiri. Jadi karena ‘party ID’ yang rendah, akhirnya menguat ‘figur ID’ (fanatisme terhadap figur tokoh politik),” ujarnya saat dihubungi Tirto, Jumat (16/5/2025)
Istilah ‘party ID’ merujuk ke konsep tentang kedekatan dan kesukaan pemilih terhadap partai politik yang dipilihnya dalam pemilu.
Sebagai informasi, ‘party ID’ di Indonesia memang terbilang rendah. Sejumlah survei menunjukan bahwa sebagian besar masyarakat tidak memiliki kedekatan emosional atau psikologis terhadap partai politik tertentu.

Survei yang dilakukan oleh Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada tahun 2023 mengungkap sebesar 85 persen pemilih Indonesia mudah pindah ke partai politik (parpol) lain karena identitas partai (party ID) di Indonesia sangat kecil.
Sementara penelitian dari Universitas Gadjah Mada (UGM), dengan studi kasus di Kota Semarang, mendapatkan hasil serupa. Riset tersebut menyebut hanya 15,8 persen pemuda yang merasa memiliki kedekatan dengan partai politik tertentu. Penelitian ini menyoroti bahwa pemilih muda cenderung lebih fokus pada figur kandidat daripada afiliasi partai politik.
Agung menambahkan fandom terhadap tokoh politik tumbuh subur di Indonesia. Hal ini dikarenakan, publik lebih melihat sosok figur ketimbang partai sebagai alternatif untuk mengkanalisasi atau mengagregasi kepentingan politiknya.
“Apalagi kalau tokoh politik itu lahir dan besar dari masyarakat itu sendiri. Misal seperti Jokowi, Dedi Mulyadi, SBY akan lebih diterima oleh masyarakat ketimbang partai, yang sebenarnya dan sesungguhnya paling ideal untuk menyalurkan aspirasi politik masyarakat,” tambahnya.
Faktor kedua, Agung melihat dalam era perkembangan komunikasi, teknologi, informasi dan komunikasi seperti saat ini, membuat era post-truth itu berkembang. Hal ini merujuk ke masa orang lebih meyakini perasaan ketimbang fakta yang sesungguhnya.
“Imbasnya orang lebih nyaman dengan emosi-emosi yang sifatnya sesaat, inklusif, dan reaktif ketimbang data-data yang dipaparkan secara objektif. Apalagi ketika kita bicara sosok dan figur. Lebih banyak permainannya emosi ketimbang fakta dan data yang sesungguhnya,” ujarnya.
Penelitian yang dilakukan Moon dan Lee pada tahun 2023, juga menyoroti dampak fanatisme terhadap misinformasi. Mereka mengatakan baik partisanship yang kuat maupun fandom politik yang intens, sama-sama secara signifikan meningkatkan kemungkinan seseorang mencari dan menyebarkan misinformasi tanpa memverifikasi kebenarannya terlebih dahulu.
Hal ini menunjukkan bahwa afiliasi yang kuat, terhadap partai maupun tokoh politik, dapat menciptakan “kacamata kuda”. Hal ini terjadi ketika orang lebih memprioritaskan informasi yang memperkuat keyakinan mereka, tanpa peduli pada kebenarannya.
Stephen Duncombe dalam bukunya berjudul Dream: Reimagining Progressive Politics in an Age of Fantasy, mencatat bahwa Trump memenangkan pemilu 2016 bukan karena fakta — dia sering berbohong — tapi karena kemampuannya menciptakan fantasi yang disamarkan sebagai kebenaran. “Fakta, tampaknya, bukanlah sesuatu yang bisa diverifikasi benar atau salah, melainkan bagian dari sebuah cerita,” tulis Duncombe.
Kembali ke konteks Indonesia, Agung mengambil contoh pada apa yang terjadi pada Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi. Dia memiliki banyak pendukung fanatik. Melalui beragam macam kebijakan dan inovasi yang dikemas atau disosialisasikan melalui konten atau media sosial, banyak masyarakat yang kini mengidolakan tokoh yang akrab disapa KDM tersebut.
“Sosok Dedi Mulyadi atau Jokowi dianggap mampu mengorkestrasi realitas politik, manuver-manuver politik mereka (masyarakat) secara atraktif, secara menarik dan menghibur,” ujarnya.
Ia melihat dalam konteks ini, sah-sah saja jika masyarakat mengidolakan tokoh tertentu seperti KDM. Namun, hal tersebut tidak ideal.
“Mereka lupa bahwa bangunan negara kita, sistem kita berbangsa, berdemokrasi itu lebih kompleks dari sekedar sosok. Kita harus bangun sistem, kita harus bangun demokrasi, kita harus menjaga konstitusi. Dan itu tidak bisa satu orang,” ujarnya.

Terpisah, Dosen Program Studi Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Riau (UIR), Agung Wicaksono, menyoroti perkembangan dunia digital. Menurut dia peningkatan akses informasi digital yang sangat signifikan memengaruhi kehadiran fandom-fandom atau pendukung fanatik dari politisi.
“Dengan semakin berkembangnya media sosial dan akses internet yang lebih mudah, masyarakat kini memiliki lebih banyak saluran untuk mengungkapkan pendapat dan mendukung tokoh politik tertentu. Hal ini memungkinkan terbentuknya ruang interaksi antar pendukung yang lebih intens, yang pada gilirannya dapat memperkuat solidaritas kelompok,” ujarnya kepada Tirto, Jumat (16/5/2025)
Selain itu, Agung menyoroti citra tokoh politik yang kuat juga memainkan peran penting dalam hadirnya pendukung fanatik tokoh politik di Indonesia.
“Misalnya, tokoh-tokoh seperti Jokowi dan Dedi Mulyadi telah berhasil membangun citra yang resonan dengan masyarakat, sehingga banyak pendukung merasa terhubung secara emosional dengan mereka. Hal ini memperkuat loyalitas dan dukungan yang mereka terima,” ujarnya.

Timbulkan Polarisasi Hingga Jadi Ancaman Demokrasi
Agung dari UIR, melihat di satu sisi, fenomena fanatisme dukungan terhadap tokoh politik sering kali berimbas pada timbulnya polarisasi di masyarakat. Individu lebih cenderung terjebak dalam echo chamber-nya dan hanya menerima informasi yang sesuai dengan pandangan mereka.
“Ketika masyarakat terbelah menjadi dua kutub ideologi yang sangat berbeda, loyalitas terhadap tokoh tertentu menjadi semakin kuat. Hal ini dapat mengarah pada penguatan fanatisme yang lebih dalam, terutama jika masing-masing kelompok semakin enggan menerima pandangan yang berbeda,” ujarnya.
Dampak dari fanatisme politik yang berlebihan terhadap tokoh politik bisa sangat signifikan terhadap iklim demokrasi dan kebebasan berpendapat. Agung mencontohkan dalam teori demokrasi deliberatif yang dikemukakan oleh Jurgen Habermas, demokrasi seharusnya mengutamakan adanya ruang untuk diskusi yang terbuka, rasional, dan konstruktif.

“Ketika fanatisme politik menguat, proses diskusi dan debat yang seharusnya obyektif justru menjadi lebih emosional. Dan seringkali kritik terhadap kebijakan dianggap sebagai serangan pribadi. Akibatnya, kritik terhadap tokoh politik bisa dianggap sebagai hal yang negatif, bukan sebagai masukan yang konstruktif,” ungkapnya.
Selain itu, dalam teori polarisasi politik, peningkatan polarisasi dalam politik sering kali membuat masyarakat semakin sulit untuk berkomunikasi dengan pihak lain yang memiliki pandangan berbeda. Hal ini bisa menambah kesulitan dalam menciptakan ruang yang sehat untuk diskusi yang terbuka.
“Ketegangan ini seringkali mengarah pada hilangnya kemampuan untuk menerima pandangan yang berbeda, yang bisa menghambat proses demokrasi yang sehat,” tambah Agung.

Pengkultusan terhadap tokoh politik juga menyebabkan fokus masyarakat lebih banyak tertuju pada figur politik tersebut, bukan pada kebijakan atau ideologi yang mereka bawa. Ini bisa mengurangi kesempatan untuk mengkritisi kebijakan yang mungkin tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat, yang akhirnya mengurangi kualitas diskusi politik di Indonesia. Contoh yang dialami Gina di awal, bisa jadi bukti nyatanya.
“Dari sudut pandang akuntabilitas politik, seperti yang dijelaskan oleh Dahl (Robert Alan Dahl, 1989-red), kritik yang sehat dan konstruktif sangat penting untuk memastikan adanya transparansi dan akuntabilitas dalam pemerintahan. Jika kritik terhadap kebijakan atau tindakan politisi dianggap sebagai ancaman, maka hal ini bisa merusak prinsip-prinsip demokrasi yang seharusnya ada,” ujarnya menambahkan
Hal serupa diungkap, Agung Baskoro dari Trias Politika Strategis. Dia menilai pengkultusan atau fanatisme terhadap tokoh politik merupakan antitesis dari konsep demokrasi yang menempatkan semua individu atau sosok, itu sama kekuatan dan pengaruhnya.
Soal ini, ia mengingatkan bahwa di atas sosok kefiguran ada konstitusi dan aturan main yang berlaku sehingga siapapun figurnya seharusnya tidak imun terhadap kritik atau masukan dari publik.
“Jangan sampai kita alergi terhadap kritik karena bangunan demokrasi yang kita buat selama ini berada di atas kritik dan apresiasi. Kalau kita mengapresiasi, jangan lupa mengkritik. Kalau kita mengkritik, jangan lupa mengapresiasi. Termasuk para sosok dan tokoh yang hari ini diidolakan oleh warga ataupun fans mereka,” ujarnya
Agung berpendapat, Indonesia terancam kembali ke era sebelum reformasi saat Indonesia masih terjebak dalam situasi yang ia sebut sebagai “demokrasi kultus”, jika masih mengedepankan ketokohan satu individu.
“Kultus terhadap Soekarno, terhadap orde baru, dan Soeharto –terlepas mereka memang memiliki jasa, tapi demokrasi kultus itu atau pengkultusan individu yang berlebih itu tidak baik buat sistem kita berdemokrasi dan berpelajaran dalam jangka yang panjang seperti itu,” ujarnya.
Sumber: Tirto