Kisah Para Pengritik: Dibui Era Jokowi, Diampuni Prabowo

Penantian Yulianus Paonganan alias Ongen akhirnya tiba. Kasus hukum yang membebaninya selama hampir satu dekade terhapus oleh amnesti. Nama Ongen termasuk dalam ribuan terpidana yang mendapatkan pengampunan atau amnesti dari Presiden Prabowo Subianto. Ia sebelumnya terjerat UU ITE dan Pornografi karena dinilai menghina Jokowi yang saat itu menjabat presiden.
Nama Ongen disebut langsung oleh Menteri Hukum Supratman Andi Agtas saat mengumumkan Keputusan Presiden pemberian abolisi dan amnesti pada Jumat malam, (1/8).
“Lega banget. Kayak ada beban di pundak gue yang diangkat,” ujar Ongen kepada kumparan, Jumat (8/8).
Dalam surat dakwaan, Ongen disebut beberapa kali mengunggah foto Jokowi berdampingan dengan artis Nikita Mirzani dengan tulisan status yang dianggap memuat pornografi. Unggahan itu disebar melalui media sosial miliknya pada Desember 2015.
Namun dalam pembelaannya, Ongen menyebut foto itu bukan karyanya, melainkan foto lama yang disebar melalui media sosial.

Ongen tetap divonis bersalah. Ia dihukum 1 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider 3 bulan kurungan. Putusan itu dikuatkan hingga tingkat kasasi Mahkamah Agung pada 31 Oktober 2019, namun tak pernah dieksekusi.
Meski tak pernah dieksekusi ke penjara, hari-hari Ongen tetap dihantui ketidakpastian dan penuh beban. Kasusnya turut mempengaruhi kehidupan keluarganya, terutama bagi anaknya.
“Beban psikologisnya berat,” kata doktor Ilmu Kelautan lulusan IPB itu.
Ia pun bersyukur mendapat amnesti dari Prabowo. Bayang-bayang ancaman mendekam di penjara kini tak ada lagi. Ongen pertama kali mendapat kabar amnesti ketika tengah berada di Makassar. Ia pun kaget namanya disebut Menkum Supratman.
Setelahnya, ia langsung menghubungi orang-orang yang berada di lingkaran dekat Prabowo, termasuk menteri yang ia kenal hingga Ketua Harian Partai Gerindra Sufmi Dasco Ahmad, untuk menyampaikan rasa terima kasih.

Jika diberi kesempatan, Ongen ingin datang ke Istana Presiden atau ke kediaman Prabowo, menyampaikan rasa terima kasih secara langsung.
“Mau cium tangannya [Presiden Prabowo]. Dia lepaskan beban saya yang begitu lama, 10 tahun,” ucap Ongen.
Amnesti yang didapatkan Ongen sesungguhnya bukan ujug-ujug. Ia sebelumnya sudah melalui proses seleksi. Pada akhir 2024, Ongen sempat menghadap beberapa pihak, termasuk kepada Menteri Koordinator Bidang Hukum, Hak Asasi Manusia, dan Imigrasi, Yusril Ihza Mahendra. Saat kasus Ongen bergulir di persidangan, Yusril pula yang mendampinginya sebagai pengacara.
Ongen juga menemui Menkum Supratman dan Dasco untuk menanyakan syarat dan kemungkinan mendapat amnesti. Usai bertemu mereka, Ongen mendapat jawaban bahwa kasusnya memenuhi syarat untuk mendapatkan amnesti.
Ia lalu menyerahkan beberapa berkas kepada Kemenkum. Namun sejak akhir 2024 hingga akhir Juli, Ongen tak pernah memperoleh informasi mengenai pengajuan amnestinya. Hingga kemudian namanya masuk dalam daftar penerima amnesti.

Ongen bukanlah satu-satunya terpidana ‘lawan politik’ Jokowi yang mendapatkan penghapusan hukuman dari Prabowo. Ada Sugi Nur Raharja alias Gus Nur yang juga diberi pengampunan oleh Prabowo.
Gus Nur sebelumnya terjerat kasus ujaran kebencian, penistaan agama, dan UU ITE terkait tudingan ijazah palsu Jokowi. Gus Nur disidang perdana di Pengadilan Negeri Surakarta pada 20 Desember 2022. Dia didakwa atas penyebaran berita bohong yang menyebabkan keonaran di masyarakat.
Berita bohong itu terkait konten di akun YouTube miliknya. Gus Nur membuat konten dengan narasumber Bambang Tri Mulyono yang menuding ijazah Jokowi palsu.
Dalam proses hukumnya, Gus Nur dijatuhi vonis 6 tahun penjara pada 18 April 2023. Namun pada tingkat banding, hukumannya dipotong menjadi 4 tahun penjara. Kasus Gus Nur inkrah setelah putusan kasasi MA diketok pada 6 Oktober 2023.

Gus Nur mensyukuri amnesti yang diberikan Prabowo, walau menurutnya keputusan itu datang terlambat. Sebab Gus Nur sebenarnya telah keluar penjara sejak April 2025. Ia bebas bersyarat dan dinyatakan bebas murni 3 bulan kemudian.
“Tapi apa pun itu, tetap kita syukuri. Paling tidak, saya sudah tidak perlu absen lagi ke Bapas [Badan Pemasyarakatan],” ujar Gus Nur kepada kumparan pada Kamis (7/8).
Gus Nur sesungguhnya sudah mendengar kabar akan mendapat amnesti dari politisi Gerindra, Ahmad Dhani dan Habiburokhman. Tapi saat Gus Nur menunggu sampai dirinya bebas bersyarat, amnesti tersebut tak kunjung datang.
“Setelah saya bebas, 3 bulan di luar [penjara], aktivitas sudah padat, baru amnestinya turun,” ucapnya.

Memaafkan, Bukan Melupakan
Ongen dan Gus Nur adalah dua figur yang dianggap sebagai pengkritik keras Jokowi kala masih menjabat. Keduanya pun terseret kasus hukum karena mencemarkan nama baik eks Wali Kota Solo itu.
Meski begitu, Ongen mengaku tidak punya dendam personal kepada Jokowi. Ia merasa kritik yang disampaikannya selama ini tak pernah menyerang pribadi atau individu, tapi pada kinerja. Ongen malah kepikiran, bila ada kesempatan, ia ingin mengunjungi dan bertemu Jokowi secara langsung.
“Saya sadari itu konsekuensi dari perbedaan pilihan politik. Itu urusan politis, bukan urusan personal,” ucap Ongen.
Terkait kedekatan Prabowo dan Jokowi, bagi Ongen tak menjadi soal. Menurutnya, hubungan kedua tokoh dan keputusan pemberian amnesti adalah dua langkah berbeda. Pengampunan hukum terhadap pengkritik Jokowi tak bisa menjadi penilaian dan indikator hubungan mereka.
“Harus dipisahkan antara hubungan personal Pak Jokowi dan Pak Prabowo dengan langkah hukum yang diambil oleh Pak Prabowo,” kata Ongen.

Gus Nur pun tak punya dendam personal. Hanya saja ia tetap teguh berprinsip: enggan melupakan perlakuan Jokowi selama 10 tahun menjabat presiden. Ia menilai rezim Jokowi merusak. Atas pertimbangan itu, Gus Nur prihatin jika pemerintahan Prabowo masih berada dalam bayang-bayang Jokowi.
“Kok masih menyambung silaturahmi politik sama rezim yang dulu? Rezim yang dulu itu sumber masalah. Harusnya jangan,” tegas Gus Nur.
Isu Politis di Balik Amnesti dan Abolisi
Pemberian amnesti kepada Ongen dan Gus Nur itu juga berbarengan dengan pengampunan terhadap dua terpidana lain yang dikenal sebagai ‘figur oposisi’ Jokowi, khususnya saat Pilpres 2024. Keduanya adalah eks Mendag era Jokowi, Thomas Trikasih Lembong dan Sekjen PDIP 2014-2025, Hasto Kristiyanto. Tom dan Hasto terjerat perkara korupsi. Namun kasus keduanya disinyalir berbau kriminalisasi.
Tom Lembong bahkan mendapatkan dukungan publik karena dinilai tidak layak dijerat korupsi. Ia kemudian mendapat abolisi dari Prabowo.
Sementara kubu Hasto merasa proses hukum di KPK adalah kriminalisasi, sebagai dampak mengkritik Jokowi di akhir masa jabatannya. Meskipun di persidangan, Hasto terbukti menyuap komisioner KPU untuk meloloskan Harun Masiku sebagai anggota DPR dan divonis 3,5 tahun bui. Namun Hasto tak perlu menjalani hukuman karena mendapatkan amnesti dari Prabowo, bersama dengan Ongen dan Gus Nur, serta 1.175 terpidana lainnya.

Walau sama-sama mendapat pengampunan, namun proses pemberian amnesti kepada Hasto berlangsung kilat. Ia tidak seperti Ongen yang mengupayakan pengampunan sejak Desember 2024.
Berselang dua hari sejak Hasto divonis penjara pada 25 Juli, Prabowo memanggil Wakil Ketua DPR sekaligus Ketua Harian Gerindra, Sufmi Dasco Ahmad, ke kediaman di Hambalang. Saat itu Prabowo menyampaikan pemberian amnesti kepada Hasto, yang kemudian informasinya diteruskan kepada elite-elite PDIP.
Pemberian amnesti kepada Hasto yang begitu kilat itu disinyalir politis, sebagai upaya Presiden Prabowo merebut hati Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri, jelang gelaran Kongres VI partai banteng. Isu kepentingan politik ini termuat pada liputan khusus kumparan bertajuk Merebut Hati Megawati.
Pemberian amnesti yang sarat kepentingan politis tersebut bagai durian runtuh bagi Tom Lembong. Sumber kumparan lingkaran kasus Tom menilai eks Mendag itu sedianya bukan target utama pengampunan. Tetapi karena Hasto mendapatkan amnesti, maka Tom juga mendapat keuntungan berupa abolisi. Kelindan amnesti Hasto dan abolisi Tom itu pula yang dilihat Pakar Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), Fatahillah Akbar.

Fatahillah menyatakan pemberian abolisi dan amnesti murni prerogatif presiden. Pemberiannya pun lebih berat terkait politik, alih-alih pertimbangan hukum. Sebab biasanya amnesti kerap diberikan untuk terpidana kasus-kasus politis seperti UU ITE, narkotika, hingga kasus makar. Pertimbangan politis itu sesuai dengan Pasal 14 ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi:
Presiden memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat.
Menurut Fatahillah, permintaan pertimbangan ke DPR lebih condong atas dasar politis. Hal ini berbeda dengan grasi dan rehabilitasi dalam Pasal 14 ayat (1) UUD 1945 di mana pemberiannya atas dasar pertimbangan Mahkamah Agung (MA).
“Walaupun keduanya (Pasal 14 ayat 1 dan 2) sama-sama prerogatif [presiden],” ucap Fatahillah.

Melepas Bayang-Bayang Jokowi
Langkah Presiden Prabowo memberi amnesti kepada Hasto, Ongen, dan Gus Nur, serta abolisi untuk Tom Lembong, disambut baik sejumlah kalangan. Pemberian abolisi dan amnesti disebut langkah bijak dari Prabowo yang ingin merangkul semua kekuatan dan menciptakan stabilitas politik.
“Secara tidak langsung, ini makin menunjukkan bahwa Prabowo betul-betul telah lepas dari bayang-bayang Jokowi dalam konteks berpolitik,” ujar Direktur Eksekutif Charta Politika, Yunarto Wijaya, pada kumparan, (1/8).
Adapun Agung Baskoro menduga keputusan Prabowo memberikan amnesti dan abolisi kepada beberapa figur itu bakal membuat Jokowi kecewa.
“Saya lihat Solo (Jokowi) kecewa…karena yang dibebaskan ini lawan-lawan politiknya Solo. Sekaligus Pak Prabowo ingin bilang ‘Gaya kepemimpinan saya merangkul’. Kalau gaya kepemimpinan Solo cenderung ‘memukul’,” kata Direktur Eksekutif Trias Politika Strategis itu pada kumparan.

Di sisi sebaliknya, menurut Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting Pangi Syarwi Chaniago, pemberian abolisi ke Tom dan amnesti terhadap Hasto mampu membangun citra positif Prabowo dari kelompok di belakang kedua figur itu. Sebab PDIP selama ini dikenal sebagai kelompok nasionalis, sedangkan Tom Lembong yang notabene sahabat dekat Anies dikenal dari kalangan religius.
“Prabowo memerlukan dua kekuatan menjadi big bone-nya. Prabowo ingin ada stabilitas, ada trust building dari publik,” kata Pangi.
Pangi pun berpandangan langkah Prabowo memberi pengampunan kepada orang-orang yang dipenjara era Jokowi adalah bentuk koreksi atas penegakan hukum era sebelumnya. Bagi Pangi, keputusan Prabowo tersebut merupakan sindiran keras, sekaligus ingin memberikan pembelajaran bahwa hukum tak boleh dijadikan alat kekuasaan untuk menghabisi lawan politik.
Kendati disambut positif, langkah Prabowo juga tak lepas dari sorotan karena amnesti diberikan kepada terpidana kasus korupsi. Jika kebablasan, bisa-bisa dianggap tak sejalan dengan semangat Prabowo yang ingin ‘mengejar koruptor hingga ke Antartika’.
Pengajar Hukum Universitas Andalas Feri Amsari menyatakan ke depan perlu adanya batasan yang jelas dalam pemberian abolisi dan amnesti. Ia mengusulkan perlunya penyusunan UU Grasi, Amnesti, Abolisi, dan Rehabilitasi.
“Bisa dibatasi supaya tidak ada ruang semangat pemberantasan korupsi yang hilang, harus dipenuhi syarat-syarat tertentu,” ujar Feri.
Meski demikian, Feri menganggap secara umum Prabowo berhasil memoles citra positif lewat langkah pengampunan. Prabowo disebut punya cara pandang berbeda dengan Jokowi, terutama dari sisi penegakan hukum. Tidak boleh ada orang dipenjara hanya karena berbeda pandangan politik.
“Ini sangat baik untuk membangun citra Pak Prabowo…Sehingga orang bisa melihat ini tidak seperti cerita keberlanjutan,” tutup Feri.
Terbit di Kumparan Plus